Catatan Linimasa
![]() |
Ilustration by Canva |
Sebelumnya cerpen ini rencananya akan diikut sertakan dalam lomba cerpen yang di adakan Kolonian.is . Dalam rangka upaya dalam menghargai sekaligus menyadari sudah sejauh mana kota dan kita hidup dengan setara.
Yaudah, selamat membaca ya. Semoga meninggalkan kesan baik setelah membacanya.
***
Jenuh
rasanya tiap hari swipe up – swipe up
beranda media sosialku, melihat orang yang selalu mengunggah gambaran kehidupan
yang terlihat sempurna dan bahagia. Kadang aku iri, bukan hanya sekali aku
pernah mengutuk dalam hati “pengen banget
bisa kayak mereka” atau “enak banget
ya, bisa kesana-kesini sedangkan aku juga pengen”. Begitu kadang terbesit
dalam benakku, tanpa sadar saat melihat postingan beberapa temanku yang sudah
pergi jauh. Beberapa ada yang ke Bali, Lombok, Thailand, bahkan ada yang sampai
Amerika. Atau kadang melihat mereka pergi ke tempat-tempat yang keren, yang hype, restoran mewah misalnya atau ke
wahana yang super kece abis. Sementara aku, masih disini-sini saja. Bertahan
jadi pemuda yang gak bisa kemana-mana.
“Ting…” bunyi
dalam bus Transjakarta. Menandakan sudah tiba dihalte. Seketika aku beralih
dari layar gawaiku, melihat kearah luar jendelan bus. “Bank Indonesia” terbaca
olehku dari dalam bus, “ternyata masih di halte Bank Indonesia”, kataku dalam
hati. Penumpangpun dengan sikap buru-burunya keluar dan masuk dari bus ini.
Beginilah keadaan setiap sore diperjalanan pulangku ke kontrakan, sudah jadi
pemandangan setiap hari melihat kesibukan dan padatnya aktifitas para pekerja
di Jakarta ini. Ya bukan hanya sore, pagi juga sangat sibuk, ketika orang-orang
mulai berangkat kerja.
Ya
begitulah kehidupanku belakangan ini. Jangankan buat ke Amerika, liburan yang
dekat saja aku tidak sempat. Ke Jogja misalnya, sulit untuk merealisasikan itu.
Mau gak mau sih, sudah jadi tanggung jawabku sebagai Journalist senior[1]
disalah satu media berita di Jakarta. Dengan numpuknya pekerjaan dikantor,
sulit aku rasa bisa punya waktu santai untuk berlibur menyegarkan pikiran.
Apalagi aku juga harus terus memberi laporanku setiap harinya untuk pemuatan
berita terbaru. Benar-benar jenuh rasanya.
Aku
kembali menatap gawaiku, menonton hiburan-hiburan yang disediakan sosial
mediaku. “Ting…” bus pasti berhenti
lagi. Kali ini tidak aku lepaskan pandangan dari gawaiku, aku sudah bisa
menebak dimana bus ini berhenti dan masih jauh dengan jarak ke kontarakanku,
belum lagi harus transit, berganti bus dengan yang mengarah ke halte dekat
dengan kontrakanku.
Entah
siapa yang turun dan naik dari bus ini, tidak lagi kuperhatikan. Tapi aku sadar
ada seseorang yang duduk di sebelahku, tapi aku tak menoleh, hanya sedikit
bergeser, karena aku sadar kalau aku menempati sebagian area bangkunya. Dari
wangi dan bentuk jemarinya yang terlihat dari ujung mataku, aku tahu dia adalah
sosok perempuan. Namun aku tetap tidak peduli untuk melihatnya, masih terfokus
dengan bacaan-bacaan digawai yang aku genggam. Lagipula, sudah biasa keadaan
cuek-cuekan begini diangkutan umum, untuk menghindari modus apapun. Apalagi di
Jakarta saat ini masih tidak begitu diperbolehkan ngobrol di angkutan umum,
untuk menghindari penularan virus corona.
Selang
5 perhentian, dia bergegas, perempuan yang baru saja duduk disebelahku, hendak
turun mungkin, sudah sampai dengan tujuannya, mungkin. Aku beralih lagi dari
gawaiku, tapi tidak untuk memperhatikan perempuan itu, aku memperhatikan lagi
ke arah luar jendela. Sudah di halte Grogol-1, satu halte lagi aku turun, di
halte Harmoni. Bukan tujuan akhirku, masih harus transit. Aku sengaja memilih tinggal
cukup jauh dari tempat kerjaku. Alasannya cukup aneh memang, agar aku bisa
refreshing, seperti jalan-jalan keliling. Ya lumayanlah, untuk sekedar melepas
penat. Lagipula belakangan ini fasilitas angkutan umum di Jakarta sudah sangat
baik aku rasa. Dibanding beberapa tahun lalu, yang harus sempit-sempitan dalam bus,
belum lagi banyak penumpang yang berkeringat, sehingga bau keringatnya memenuhi
ruang bus yang gak seberapa luasnya.
Dari
kontrakan sampai ke kantorku hanya dikenakan tarif Rp. 3500, karena beberapa
angkutan ada yang gratis, seperti jaklingko
(berupa angkot, hanya saja sudah di akuisisi oleh perusahaan Transjakarta,
sehingga digratiskan). Jadi aku masih bisa hemat, hanya sedikit korban waktu.
Selang
7 menit, bus yang aku tumpangi tiba di halte Harmoni, ya cukup cepat
sebenarnya, mengingat jarak yang cukup lumayan jauh, karena bus juga lajunya
cepat, apalagi di Jakarta ini, bus Transjakarta punya lajurnya sendiri. Sangat
minim resiko terkena macet-macetan. Aku pun beranjak dari bangku yang sudah aku
duduki selama 30 menit.
Ketika
hendak beranjak, aku merasa menendang sesuatu saat melangkahkan kakiku. Mataku
mencoba menjelajahi lantai bus dengan pandangannya. Tepat dilantai lorong dekat
dengan kursi prioritas[2]
aku melihat benda kecil berbentuk tabung, berwarna kuning. Aku belum bisa
menebak benda apa itu, tapi aku coba dekati dan mengambilnya. Langsung aku
masukkan dalam saku celanaku, karena buru-buru harus mengejar bus selanjutnya.
Ya bukan apa-apa, karena kalau aku tertinggal bus, aku harus menunggu 15 menit
lagi kadang juga lebih untuk keberangkatan bus selanjutnya.
***
“Drrrrt drrrt – drrrt drrt” getar
gawai ditangan yang saat itu aku genggam. Yah, sengaja aku menonaktifkan
notifikasi gawaiku. Selain karena berisik, seringnya gawaiku berbunyi karena
notifikasi tidak jelas dari email atau sms provider[3].
Jadi kadang aku malas dengan notifikasi itu.
Ketika dilihat ternyata tidak penting.
Dan
kali ini pesan dari temanku, katanya dia sedang ada di Jakarta, dan mengajak
aku bertemu. Untungnya aku belum naik bus yang mengarah ke kontrakanku,
langsung saja aku iyakan. Kebetulan besok juga minggu.
”Akhirnya
aku bisa nongkrong lagi”, kataku dalam hati melega. Ya karena memang sudah lama
sekali aku tidak ngopi-ngopi diluar, ya karena tidak ada teman yang bisa
diajak. Teman kantorku? Yah, alasannya takut pulang malam, besok kerja. Padahal
dikantor aku yang lebih dulu sampai daripada mereka.
Aku
mengubah ruteku malam itu, membatalkan rencana untuk langsung pulang. Dari
halte itu aku menuju ke Sarinah, katanya temanku sudah menunggu disana.
Kebetulan sekali Harmoni tidak begitu jauh dari Sarinah. Mungkin 3 perhentian.
Tak
sampai 20 menit aku sudah sampai di Sarinah, langsung aku mempercepat langkah
menuju tempat yang sudah temanku bagikan di Whatsapp.
***
(tos
pertemanan)
Setelah
menguji tos pertemanan kami. Ya
karena cukup lama gak ketemu dengan temanku yang satu ini. Aku kira, kami lupa tos pertemanan yang kami ciptakan dulu. Baru
setelah itu kita pelukan, wah kangen banget aku kumpul-kumpul begini. Sebenarnya
kami adalah 3 serangkai, yang dulu zaman-zaman kuliah selalu bareng. Tapi
karena usai kuliah mereka dapat pekerjaan dan beasiswa yang jauh, ya akhirnya
aku yang jadi tumbal, ditinggal sendirian disini. Temanku yang ini Andi
namanya, hidupnya cukup beruntung. Kami kenal dan dekat saat kuliah semester
awal. Saat itu sama-sama single, eh
gak lama setelah kita berteman, dia dapat kenalan perempuan di organisasi yang
sama-sama kami ikuti dan gak lama setelah itu mereka jadian, ya walaupun aku yang
jadi tempat curhatannya selama PDKT[4].
Dan beruntungnya sampai sekarang hubungan mereka masih baik. Katanya 1 atau 2
tahun lagi bakal married. Sekarang
Andi kerja di Bali, pacarnya di Makasar. Kebetulan pacarnya asli orang Makasar,
jadi sudah menetap dikampung setelah selesai kuliah.
Dan
teman kami yang 1 lagi, Bagas namanya, sekarang dia lanjut beasiswa di Amerika.
Beruntung bangetkan? Gimana gak iri dan minder coba, orang-orang yang sering
aku iri-kan di media sosial adalah temanku sendiri yang dulu sempat bareng-bareng.
Akhirnya
malam minggu kali ini aku gak sendiri, ada Andi yang jadi teman ngopiku. Sudah
lama sekali aku gak nocturnal[5]
seperti ini. Semalaman suntuk kita ngobrol, saling tukar cerita, tentu saja aku
sangat kepo[6]
dengan kehidupannya di Bali, apalagi selama ini aku hanya melihatnya dari
beranda dan story disosial mediaku.
Bahkan
sampai coffeeshop tempat kami ngopi
malam itu hendak closing. Sedangkan kami
masih asik dengan cerita tentang Andi saat tinggal dan bekerja di Bali. Sesekali
Andi juga bertanya tentangku. Tapi apalah yang mau dibanggakan dari ceritaku?
Hanya perubahan Kota ini yang bisa aku ceritakan, membanggakan kemajuan Kota,
tapi masih disesakkan dengan kehidupan yang super sibuk. Ya akhirnya kami
mengalah, karena waiters yang bekerja
malam itu sudah menghampari kami dan menyampaikan kalau mereka sudah tutup. Dan
itu pun kita sambung di pelataran Sarinah. Ya untungnya sekarang pelataran
Sarinah sudah di revitalisasi cukup bagus, sangat bagus malah. Sehingga banyak
kegiatan disana, anak-anak muda yang sekedar berkumpul, jadi tempat orang
pacaran, bahkan komunitas seni di Jakarta, hampir tiap malam ada perkumpulan. Ada
anak-anak tari, teater, bahkan komunitas musik yang sukarela menghibur dan
menyumbangkan suaranya, ya meskipun mereka juga menyediakan kotak sarung gitar
bertuliskan “penghargaan untuk seni” untuk warga pengunjung Sarinah yang
sukarela ingin berbagi ke mereka.
***
“Yaudah,
besok sore aku nyusul ya! Paham sendiri lah kau, aku kerja udah kayak rodi[7].
Jadi, hari minggu jadi waktu hibernasi[8]
buat aku”.
Malam
itu setelah aku melihat notifikasi digawaiku, mataku juga melirik kesudut kanan
atas layar, melihat jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul 02:25 dini hari.
Aku
juga sempat mengulang janjiku dengan Andi, untuk menyusulnya keacara pameran
seni rupa yang diadakan oleh rekan bisnisnya saat mereka bertemu di Bali.
“Iyaaa…
aman itu. Kalau gak datang kau, kujemput kerumahmu nanti, haha”.
Candaan
Andi juga tidak hilang. Meskipun sudah lama kami tidak bertemu. Sebenarnya kami
punya grup whatsapp, tapi memang feel-nya berbeda dengan ngobrol
langsung. Makanya kami jarang ngobrol di grup itu.
Perjumpaan kami malam itu harus disudahi dulu, karena
kami masih harus istirahat, apalagi Andi, yang pasti lelah setelah perjalanan
jauh dari Bali. Juga dia besok harus datang lebih awal daripada aku ke acara
pameran itu. Karena dia sangat diharapkan kehadirannya saat pembukaan. Setelah
pesanan ojek onlineku tiba, aku tinggalkan Andi. Karena dia menginap dekat dari
Sarinah, sehingga dia bisa pulang dengan jalan kaki.
***
Setelah kukembalikan helm driver ojek online tadi, aku langsung tinggalkan dengan ucapan
“makasih ya bang” dan kudapatkan ucapan balasan yang selalu aku dengar saat
menggunakan jasa ojek online, “jangan lupa bintang 5 nya ya bang”, selalu. Ternyata
mereka juga butuh penilaian itu untuk mempertahankan rating mereka agar selalu lanjar mendapat order-an.
Biasanya aku ‘kan kasih nilai di aplikasi saat aku sudah
dikasurku, atau kalau sedang santai. Saat aku masukkan tangan kesaku celana
hendak mengambil gawai. Aku merasakan memegang sesuatu, tapi aku yakin itu
bukan gawaiku. Karena bentuknya berbeda dan ukurannya juga tidak seperti gawai.
Setelah kuambil, aku lihat-lihat, lalu kupehatikan dengan memutar seluruh
bagian benda itu. Ternyata itu roll film
36mm for analog cam. Itu adalah gulungan film hasil potret pada kamera
analog. Tapi belum bisa dilihat hasilnya. Karena harus diproses develope[9]
lebih dulu. Aku tau kalau roll film itu sudah dipakai, sebab sudah tertulis
dengan judul tema isi fotonya, juga tanggal terakhir roll film itu digunakan.
Setelah aku ingat-ingat lagi. Ternyata roll film yang ada
disaku celanaku adalah yang tadi tidak sengaja kutemukan dilantai bus
Transjakarta. Tiba-tiba saja ngantuk dan lelahku hilang. Karena berganti rasa
senang dan excited. Penasaran dengan penemuan
roll film ini.
Karena memotret dengan kamera analog merupakan bagian
dari hobiku sejak lama. Ya beberapa tahun ini sempat tidak aktif memotret
dengan kamera analog lagi, pastinya karena sibukkan dengan pekerjaan. Padahal
dulu, awal-awal jadi jurnalistik lapangan, aku selalu siap dengan kamera analog
ditasku, untuk aku memotret sesekali kalau menemukan objek bagus. Bahkan sampai
aku mengumpulkan alat-alat untuk men-develope-nya
sendiri, agar bisa langsung aku lihat hasilnya. Karena sejak kamera analog
diganti dengan kamera digital. Harga jasa develope
roll film ini lumayan menguras dompet.
Karena
aku sudah tidak ngantuk lagi. Akhirnya aku berniat untuk mendevelop roll film ini. Alasannya bukan karena penasaran dengan isi
potret yang ada didalamnya. Tapi rasa kangen menikmati proses developenya, yang harus melalui beberapa
tahapan dan diulang. Alasan lain juga, barangkali aku bisa dapat petunjuk siapa
pemilik roll film ini.
***
Setelah mandi dan ganti kostum dengan yang lebih santai
dan simple, aku mulai menyiapkan beberapa wadah dan cairan untuk melakukan
proses perendaman pada roll film ini. Juga menyiapkan alat untuk menggulung
keluar film-nya, agar tidak terkena cahaya, atau film-nya akan rusak dan seluruh
hasil potret tidak akan ter- develop dengan
sempurna.
Sebenarnya hobi aku ini ada pengaruhnya dari kakek aku di
Medan. Beliau sudah meninggal beberapa tahun lalu. Tapi aku masih ingat jelas,
kalau masa kecilku dulu selalu diajak kakek untuk jalan-jalan ke taman kota
kalau aku dan keluarga berlibur kerumah kakek dan kakek selalu mengabadikan
masa kecilku dengan kamera analog favoritnya. Saat kakek mengajakku ke taman,
kakek selalu menyiapkan beberapa roll film dan baterai cadangan hanya untuk
mengabadikan momen kecilku selama seharian kita ada di taman.
Setengah
jam setelah memproses roll film tadi, akhirnya kelar juga negative film[10]-nya.
Setelah di develope, akan terlihat
gambar berupa negative film. Dan harus
dilakukan proses scan untuk melihat
warna foto aslinya, sekaligus mencetaknya.
Aku
melihat 36 hasil potret yang bagus-bagus. Tidak ada 1 film pun yang rusak. 36
foto yang beragam, ada foto bangunan ikonik di Jakarta, juga beberapa kota lain
yang aku tidak tau dimana. Yang pasti bukan di Jakarta. Tapi yang aku yang aku
kenali adalah foto Monas, Gedung Hotel JW Marriot di Medan, Jembatan Ampera di
Palembang dan foto tugu Jogja, aku tau karena melihat-lihat di google, sebab aku pengen banget ke
Jogja, sisanya aku tidak tahu ada dikota mana.
Dalam beberapa deretan foto-foto keren itu, mataku
keseret oleh 3 foto yang ada dibagian ujung klise[11],
dan aku arahkan foto wajah itu ke cahaya untuk melihat wajah siapa yang ada
difoto itu. Kuperhatikan baik-baik dengan seksama juga detail. Ternyata aku
tidak mengenali wajah itu. Aku sangka aku akan mengenalnya, ternyata tidak.
Tapi yang aku yakini adalah orang yang ada difoto itu pasti pemilik roll film
ini.
Aku juga tidak terlalu memikirkan siapa orang itu. Toh
pikirku bukan hal yang penting kenal atau tidaknya aku dengan orang itu. Paling
akan kukembalikan klise ini.
Jam dindingku sudah menunjukkan pukul 03:37 WIB. Sebenarnya
aku merasakan mataku belum ada tanda-tanda ingin tidur. Tapi mengingat besok
aku ada janji, dan aku juga butuh istirahat untuk lusa, Senin, karena harus
kembali bekerja, akhirnya aku memilih untuk merebahkan badanku dikasur yang gak
seberapa mahal ini, tapi elegan. Kutinggalkan semua peralatan develope tadi, aku pikir besok saja aku
rapihkan.
***
“Drrrrt drrrt –
drrrt drrt” mataku terbangun karena getaran gawaiku yang ada disebelah
bantalku, “panggilan masuk – Andi Codet” tampil di layarku, sebuah panggilan
masuk, ternyata dari Andi.
“Ya Ndi?” sapaku setengah sadar.
“Eeh… baru bangun kau ya?” suara cemprengnya Andi yang
keluar dari speaker gawaiku. “Kau
jadi kesini gak? Ini kawanku yang mau aku kenali ke kau udah datang nih”
sambungnya. Menyadarkan aku ternyata aku telat bangun, karena suara
cemprengnya.
Saat melihat dalam keadaan setengah sadar kelayar
gawaiku, aku terkejut ternyata sudah pukul 14:43 WIB. Langsung saja aku tutup
telepon dan bilang “OTW”.[12]
Yang aslinya masih harus mandi, sikat gigi, handukan, pilah-pilih baju,
pilah-pilih sepatu, kecarian kaos kaki, pakai parfum, jalan buru-buru ke halte
dan menggerutu “lama banget sih bus nya”. Haha, Indonesian people banget.
Tapi saat buru-buru mau cabut dari kontrakan, aku sempat
melihat kamera analogku yang terpajang dimeja, tanpa pikir panjang langsung aku
ambil, aku bawa untuk jepret-jepret analog diperjalanan, sekalian melepas
candu, sudah lama juga aku tidak bermain analog ini. Terlihat juga klise tadi malam yang sudah selesai aku develop, Langsung aku masukkan kedalam
tas.
***
Setelah 1 jam kejar-kejaran dengan waktu, akhirnya aku tiba
dilokasi event rekan Andi. Pameran itu diadakan di Taman Ismail Marzuki,
Jakarta Pusat. Sudah lama aku gak mampir ke TIM, sudah banyak sekali perubahan,
terutama bangunan-bangunan utamanya, semuanya serba bangunan baru. Terakhir aku
kesini itu saat masih zaman sibuk skripsian bareng Andi dan Bagas. Mungkin kalau
bukan karena acara pameran ini, entah kapan aku kesini lagi.
Ruang pamerannya ada di lantai 3, dekat dengan
perpustakaan. Sembari menuju ruang pameran, aku keluarkan lagi kamera analogku.
Sekalian mengganti roll film nya dengan yang baru. Karena tadi sudah habis 36
shoot aku pakai untuk jepret-jepret beberapa momen diperjalanan dengan bus.
Pasti hasilnya epic banget pikirku.
Dari kejauhan kulihat Andi sedang berbincang dengan
seorang perempuan didalam ruang pameran. Kuperhatikan Andi menunjuk ke arahku,
aku yakin dia pasti akan bilang “itu dia
si kampret baru datang” ke perempuan yang sedang ngobrol bersamanya.
“ngomong
apa kau barusan ke mbak ini?” aku yang baru saja buka pintu dan masuk
selangkah, langsung menuduh dia.
“dih… ge-er kali kau, mana ada aku ngomong apa-apa ke
mbak ini” Andi yang masih saja dengan candaannya, beralasan sambil tersenyum,
memperlihatkan kalau dia sedang bercanda dengan kobohongannya.
Langsung saja seketika aku, Andi, teman perempuan itu
tertawa geli dengan guyonan Andi.
Setelah saling berkenalan, aku diajak berkeliling melihat
objek-objek yang di pamerkan disini. Dan akhirnya aku tau kalau mbak tadi
adalah rekan Andi yang menyelenggarakan pameran ini. Indah namanya. Tapi aku
merasa gak asing dengan wajahnya.
Ada
beberapa karya yang dipamerkan disini, beberapa lukisan dan patung, instalasi, beberapa
gadget lama, seperti Vinyl, Walkman, analog cam, recorder tape, juga beberapa
syair yang dipajang. Semua karya ini berisi tentang kilas balik tentang
gambaran kehidupan kota-kota yang pernah terjadi dalam rentang tahun 1980 –
2021. Perjalanan yang cukup panjang pikirku. Indah pasti sudah melakukan banyak
perjalanan untuk menyiapkan karya-karya ini.
“Ini kenapa kosong?” pertanyaan yang muncul. Saat tak
sengaja aku lihat meja cahaya led yang kosong dengan kamera analog versi lomo
disebelahnya.
“Iya, harusnya ini diisi dengan klise yang dipotret
dengan kamera ini, tapi klise-nya hilang” dengan senyum dan rasa bersalahnya
Indah mencoba menjelaskan pertanyaanku.
“Oh ya? Sayang banget. Pasti keren tuh hasilnya”.
“Mungkin sih, soalnya roll film itu isinya beberapa
bangunan ikonik dibeberapa kota di Indonesia yang aku ambil 2007 dulu”.
“Oh ya?”
Dengan kaget bercampur panik aku langsung menurunkan tas
yang kusandang. Sibuk membongkar-bongkar isi tasku. Ternyata aku baru sadar,
mungkin klise yang tadi malam aku develope, adalah klise Indah.
“Ini bukan?” kutunjukkan ke Indah. Klise yang sudah di develope dan tersampul rapih dengan cover plastic-nya.
“Wah iya, kok bisa di kamu?”
Kujelaskan cerita dimana aku menemukan roll film itu juga
alasan aku men- develope roll film
itu, mungkin saja aku bisa tahu siapa pemiliknya. Pantas saja, aku mersa tidak
asing dengan wajahnya. Ternyata yang duduk disebelahku saat di bus tempo hari
adalah Indah. Indah juga sempat mempertanyakan, kenapa aku bisa membawa roll
film itu dalam klise negative film.
Menjelang pukul 10 malam aku pamit pulang duluan. Sebelum
aku pulang Indah meminta nomor whatsapp-ku.
Katanya setelah pameran ini selesai dia ingin belajar untuk men-develope roll film itu sendiri. Juga
ingin melihat beberapa koleksi barang-barang jadulku.
“Wih…wih…wih… udah tukaran WA aja nih”
Andi
kembali dengan ledekannya. Yang tiba-tiba muncul entah darimana.
***
Sepulang
dari pameran, “ting-ting….ting-ting”, notifikasi pesan whatsapp yang masuk,
ternyata dari Indah, “makasih banyak ya mas udah nyelamatin pameran aku atas
bantuan klise nya”.
“Iya
Ndah, sama-sama” balasku dengan secepat kilat, seperti ekspedisi pengiriman
pesan via paket ekspress.
“Jadi
nanti ya mas. Aku diajarin buat cuci roll film. Sekalian penasaran lihat
koleksinya mas Anwar”.
“Oke
Ndah. Aman kok…”
Setelah
malam dipameran itu, teringat lagi aku dengan foto-foto di-klise lamaku, foto
jalanan yang kupotret dulu. Jadi kangen, sepertinya aku akan kembali aktif
memotret dengan kamera analogku, agar jadi catatan linimasa yang bisa aku
lihat-lihat lagi nanti. Juga bisa jadi solusi kejenuhanku dari pekerjaan.
Lagipula sekarang ini pasti banyak objek yang seru, bangunan sudah pada
tinggi-tinggi, jalan protokol sudah lebih bersih dan rapi, trotoar sudah nyaman
untuk pejalan kaki. Apalagi sekarang ada Indah, bisa jadi teman buat hunting analog bareng.
***
[1]
Profesi jurnalis atau pencari berita, namun sudah tidak lagi terjun kelapangan
[2]
Kursi yang dikhususkan untuk penyandang disabilitas, ibu hamil, lansia, di
angkutan umum.
[3]
Penyedia layanan jaringan kartu telepon.
[4]
Singkatan dari Pendekatan
[5]
Bahasa gaul dari begadang
[6]
Bahasa gaul dari sangat ingin tahu
[7]
Istilah kerja paksa, dalam cerita sejarah penjajahan.
[8]
Istilah untuk tidur panjang, biasanya dilakukan oleh tupai atau beruang kutub.
[9]
Istilah untuk proses mencetak hasil dari roll film
[10]
Hasil roll film yang sudah di proses, tapi masih dalam efek negatife.
[11]
Sebutan untuk deretan roll film yang sudah di develop, namun masih dalam efek
negative.
[12]
Panjangan dari on the way, artinya sedang dijalan.