Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Catatan Linimasa

 

catatan linimasa , sebuah cerita pendek dari Muhammad Faisal yang berlatar belakang kota Jakarta. Mengangkat kisah seseorang yang tak sengaja menemukan roll film analog di bus Transjakarta
Ilustration by Canva


Sebelumnya cerpen ini rencananya akan diikut sertakan dalam lomba cerpen yang di adakan Kolonian.is . Dalam rangka upaya dalam menghargai sekaligus menyadari sudah sejauh mana kota dan kita hidup dengan setara.

Yaudah, selamat membaca ya. Semoga meninggalkan kesan baik setelah membacanya.

***


Jenuh rasanya tiap hari swipe up – swipe up beranda media sosialku, melihat orang yang selalu mengunggah gambaran kehidupan yang terlihat sempurna dan bahagia. Kadang aku iri, bukan hanya sekali aku pernah mengutuk dalam hati “pengen banget bisa kayak mereka” atau “enak banget ya, bisa kesana-kesini sedangkan aku juga pengen”. Begitu kadang terbesit dalam benakku, tanpa sadar saat melihat postingan beberapa temanku yang sudah pergi jauh. Beberapa ada yang ke Bali, Lombok, Thailand, bahkan ada yang sampai Amerika. Atau kadang melihat mereka pergi ke tempat-tempat yang keren, yang hype, restoran mewah misalnya atau ke wahana yang super kece abis. Sementara aku, masih disini-sini saja. Bertahan jadi pemuda yang gak bisa kemana-mana.

“Ting…” bunyi dalam bus Transjakarta. Menandakan sudah tiba dihalte. Seketika aku beralih dari layar gawaiku, melihat kearah luar jendelan bus. “Bank Indonesia” terbaca olehku dari dalam bus, “ternyata masih di halte Bank Indonesia”, kataku dalam hati. Penumpangpun dengan sikap buru-burunya keluar dan masuk dari bus ini. Beginilah keadaan setiap sore diperjalanan pulangku ke kontrakan, sudah jadi pemandangan setiap hari melihat kesibukan dan padatnya aktifitas para pekerja di Jakarta ini. Ya bukan hanya sore, pagi juga sangat sibuk, ketika orang-orang mulai berangkat kerja.

Ya begitulah kehidupanku belakangan ini. Jangankan buat ke Amerika, liburan yang dekat saja aku tidak sempat. Ke Jogja misalnya, sulit untuk merealisasikan itu. Mau gak mau sih, sudah jadi tanggung jawabku sebagai Journalist senior[1] disalah satu media berita di Jakarta. Dengan numpuknya pekerjaan dikantor, sulit aku rasa bisa punya waktu santai untuk berlibur menyegarkan pikiran. Apalagi aku juga harus terus memberi laporanku setiap harinya untuk pemuatan berita terbaru. Benar-benar jenuh rasanya.

Aku kembali menatap gawaiku, menonton hiburan-hiburan yang disediakan sosial mediaku. “Ting…” bus pasti berhenti lagi. Kali ini tidak aku lepaskan pandangan dari gawaiku, aku sudah bisa menebak dimana bus ini berhenti dan masih jauh dengan jarak ke kontarakanku, belum lagi harus transit, berganti bus dengan yang mengarah ke halte dekat dengan kontrakanku.

Entah siapa yang turun dan naik dari bus ini, tidak lagi kuperhatikan. Tapi aku sadar ada seseorang yang duduk di sebelahku, tapi aku tak menoleh, hanya sedikit bergeser, karena aku sadar kalau aku menempati sebagian area bangkunya. Dari wangi dan bentuk jemarinya yang terlihat dari ujung mataku, aku tahu dia adalah sosok perempuan. Namun aku tetap tidak peduli untuk melihatnya, masih terfokus dengan bacaan-bacaan digawai yang aku genggam. Lagipula, sudah biasa keadaan cuek-cuekan begini diangkutan umum, untuk menghindari modus apapun. Apalagi di Jakarta saat ini masih tidak begitu diperbolehkan ngobrol di angkutan umum, untuk menghindari penularan virus corona.

Selang 5 perhentian, dia bergegas, perempuan yang baru saja duduk disebelahku, hendak turun mungkin, sudah sampai dengan tujuannya, mungkin. Aku beralih lagi dari gawaiku, tapi tidak untuk memperhatikan perempuan itu, aku memperhatikan lagi ke arah luar jendela. Sudah di halte Grogol-1, satu halte lagi aku turun, di halte Harmoni. Bukan tujuan akhirku, masih harus transit. Aku sengaja memilih tinggal cukup jauh dari tempat kerjaku. Alasannya cukup aneh memang, agar aku bisa refreshing, seperti jalan-jalan keliling. Ya lumayanlah, untuk sekedar melepas penat. Lagipula belakangan ini fasilitas angkutan umum di Jakarta sudah sangat baik aku rasa. Dibanding beberapa tahun lalu, yang harus sempit-sempitan dalam bus, belum lagi banyak penumpang yang berkeringat, sehingga bau keringatnya memenuhi ruang bus yang gak seberapa luasnya.

Dari kontrakan sampai ke kantorku hanya dikenakan tarif Rp. 3500, karena beberapa angkutan ada yang gratis, seperti jaklingko (berupa angkot, hanya saja sudah di akuisisi oleh perusahaan Transjakarta, sehingga digratiskan). Jadi aku masih bisa hemat, hanya sedikit korban waktu.

Selang 7 menit, bus yang aku tumpangi tiba di halte Harmoni, ya cukup cepat sebenarnya, mengingat jarak yang cukup lumayan jauh, karena bus juga lajunya cepat, apalagi di Jakarta ini, bus Transjakarta punya lajurnya sendiri. Sangat minim resiko terkena macet-macetan. Aku pun beranjak dari bangku yang sudah aku duduki selama 30 menit.

Ketika hendak beranjak, aku merasa menendang sesuatu saat melangkahkan kakiku. Mataku mencoba menjelajahi lantai bus dengan pandangannya. Tepat dilantai lorong dekat dengan kursi prioritas[2] aku melihat benda kecil berbentuk tabung, berwarna kuning. Aku belum bisa menebak benda apa itu, tapi aku coba dekati dan mengambilnya. Langsung aku masukkan dalam saku celanaku, karena buru-buru harus mengejar bus selanjutnya. Ya bukan apa-apa, karena kalau aku tertinggal bus, aku harus menunggu 15 menit lagi kadang juga lebih untuk keberangkatan bus selanjutnya.

 

***

 

“Drrrrt drrrt – drrrt drrt” getar gawai ditangan yang saat itu aku genggam. Yah, sengaja aku menonaktifkan notifikasi gawaiku. Selain karena berisik, seringnya gawaiku berbunyi karena notifikasi tidak jelas dari email atau sms provider[3]. Jadi kadang aku malas dengan notifikasi itu.  Ketika dilihat ternyata tidak penting.

Dan kali ini pesan dari temanku, katanya dia sedang ada di Jakarta, dan mengajak aku bertemu. Untungnya aku belum naik bus yang mengarah ke kontrakanku, langsung saja aku iyakan. Kebetulan besok juga minggu.

”Akhirnya aku bisa nongkrong lagi”, kataku dalam hati melega. Ya karena memang sudah lama sekali aku tidak ngopi-ngopi diluar, ya karena tidak ada teman yang bisa diajak. Teman kantorku? Yah, alasannya takut pulang malam, besok kerja. Padahal dikantor aku yang lebih dulu sampai daripada mereka.

Aku mengubah ruteku malam itu, membatalkan rencana untuk langsung pulang. Dari halte itu aku menuju ke Sarinah, katanya temanku sudah menunggu disana. Kebetulan sekali Harmoni tidak begitu jauh dari Sarinah. Mungkin 3 perhentian.

Tak sampai 20 menit aku sudah sampai di Sarinah, langsung aku mempercepat langkah menuju tempat yang sudah temanku bagikan di Whatsapp.

 

***

 

(tos pertemanan)

Setelah menguji tos pertemanan kami. Ya karena cukup lama gak ketemu dengan temanku yang satu ini. Aku kira, kami lupa tos pertemanan yang kami ciptakan dulu. Baru setelah itu kita pelukan, wah kangen banget aku kumpul-kumpul begini. Sebenarnya kami adalah 3 serangkai, yang dulu zaman-zaman kuliah selalu bareng. Tapi karena usai kuliah mereka dapat pekerjaan dan beasiswa yang jauh, ya akhirnya aku yang jadi tumbal, ditinggal sendirian disini. Temanku yang ini Andi namanya, hidupnya cukup beruntung. Kami kenal dan dekat saat kuliah semester awal. Saat itu sama-sama single, eh gak lama setelah kita berteman, dia dapat kenalan perempuan di organisasi yang sama-sama kami ikuti dan gak lama setelah itu mereka jadian, ya walaupun aku yang jadi tempat curhatannya selama PDKT[4]. Dan beruntungnya sampai sekarang hubungan mereka masih baik. Katanya 1 atau 2 tahun lagi bakal married. Sekarang Andi kerja di Bali, pacarnya di Makasar. Kebetulan pacarnya asli orang Makasar, jadi sudah menetap dikampung setelah selesai kuliah.

Dan teman kami yang 1 lagi, Bagas namanya, sekarang dia lanjut beasiswa di Amerika. Beruntung bangetkan? Gimana gak iri dan minder coba, orang-orang yang sering aku iri-kan di media sosial adalah temanku sendiri yang dulu sempat bareng-bareng.

Akhirnya malam minggu kali ini aku gak sendiri, ada Andi yang jadi teman ngopiku. Sudah lama sekali aku gak nocturnal[5] seperti ini. Semalaman suntuk kita ngobrol, saling tukar cerita, tentu saja aku sangat kepo[6] dengan kehidupannya di Bali, apalagi selama ini aku hanya melihatnya dari beranda dan story disosial mediaku.

Bahkan sampai coffeeshop tempat kami ngopi malam itu hendak closing. Sedangkan kami masih asik dengan cerita tentang Andi saat tinggal dan bekerja di Bali. Sesekali Andi juga bertanya tentangku. Tapi apalah yang mau dibanggakan dari ceritaku? Hanya perubahan Kota ini yang bisa aku ceritakan, membanggakan kemajuan Kota, tapi masih disesakkan dengan kehidupan yang super sibuk. Ya akhirnya kami mengalah, karena waiters yang bekerja malam itu sudah menghampari kami dan menyampaikan kalau mereka sudah tutup. Dan itu pun kita sambung di pelataran Sarinah. Ya untungnya sekarang pelataran Sarinah sudah di revitalisasi cukup bagus, sangat bagus malah. Sehingga banyak kegiatan disana, anak-anak muda yang sekedar berkumpul, jadi tempat orang pacaran, bahkan komunitas seni di Jakarta, hampir tiap malam ada perkumpulan. Ada anak-anak tari, teater, bahkan komunitas musik yang sukarela menghibur dan menyumbangkan suaranya, ya meskipun mereka juga menyediakan kotak sarung gitar bertuliskan “penghargaan untuk seni” untuk warga pengunjung Sarinah yang sukarela ingin berbagi ke mereka.

 

***

 

“Yaudah, besok sore aku nyusul ya! Paham sendiri lah kau, aku kerja udah kayak rodi[7]. Jadi, hari minggu jadi waktu hibernasi[8] buat aku”.

Malam itu setelah aku melihat notifikasi digawaiku, mataku juga melirik kesudut kanan atas layar, melihat jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul 02:25 dini hari.

Aku juga sempat mengulang janjiku dengan Andi, untuk menyusulnya keacara pameran seni rupa yang diadakan oleh rekan bisnisnya saat mereka bertemu di Bali.

“Iyaaa… aman itu. Kalau gak datang kau, kujemput kerumahmu nanti, haha”.

Candaan Andi juga tidak hilang. Meskipun sudah lama kami tidak bertemu. Sebenarnya kami punya grup whatsapp, tapi memang feel-nya berbeda dengan ngobrol langsung. Makanya kami jarang ngobrol di grup itu.

            Perjumpaan kami malam itu harus disudahi dulu, karena kami masih harus istirahat, apalagi Andi, yang pasti lelah setelah perjalanan jauh dari Bali. Juga dia besok harus datang lebih awal daripada aku ke acara pameran itu. Karena dia sangat diharapkan kehadirannya saat pembukaan. Setelah pesanan ojek onlineku tiba, aku tinggalkan Andi. Karena dia menginap dekat dari Sarinah, sehingga dia bisa pulang dengan jalan kaki.

 

***

 

            Setelah kukembalikan helm driver ojek online tadi, aku langsung tinggalkan dengan ucapan “makasih ya bang” dan kudapatkan ucapan balasan yang selalu aku dengar saat menggunakan jasa ojek online, “jangan lupa bintang 5 nya ya bang”, selalu. Ternyata mereka juga butuh penilaian itu untuk mempertahankan rating mereka agar selalu lanjar mendapat order-an.

            Biasanya aku ‘kan kasih nilai di aplikasi saat aku sudah dikasurku, atau kalau sedang santai. Saat aku masukkan tangan kesaku celana hendak mengambil gawai. Aku merasakan memegang sesuatu, tapi aku yakin itu bukan gawaiku. Karena bentuknya berbeda dan ukurannya juga tidak seperti gawai. Setelah kuambil, aku lihat-lihat, lalu kupehatikan dengan memutar seluruh bagian benda itu. Ternyata itu roll film 36mm for analog cam. Itu adalah gulungan film hasil potret pada kamera analog. Tapi belum bisa dilihat hasilnya. Karena harus diproses develope[9] lebih dulu. Aku tau kalau roll film itu sudah dipakai, sebab sudah tertulis dengan judul tema isi fotonya, juga tanggal terakhir roll film itu digunakan.

            Setelah aku ingat-ingat lagi. Ternyata roll film yang ada disaku celanaku adalah yang tadi tidak sengaja kutemukan dilantai bus Transjakarta. Tiba-tiba saja ngantuk dan lelahku hilang. Karena berganti rasa senang dan excited. Penasaran dengan penemuan roll film ini.

            Karena memotret dengan kamera analog merupakan bagian dari hobiku sejak lama. Ya beberapa tahun ini sempat tidak aktif memotret dengan kamera analog lagi, pastinya karena sibukkan dengan pekerjaan. Padahal dulu, awal-awal jadi jurnalistik lapangan, aku selalu siap dengan kamera analog ditasku, untuk aku memotret sesekali kalau menemukan objek bagus. Bahkan sampai aku mengumpulkan alat-alat untuk men-develope-nya sendiri, agar bisa langsung aku lihat hasilnya. Karena sejak kamera analog diganti dengan kamera digital. Harga jasa develope roll film ini lumayan menguras dompet.

Karena aku sudah tidak ngantuk lagi. Akhirnya aku berniat untuk mendevelop roll film ini. Alasannya bukan karena penasaran dengan isi potret yang ada didalamnya. Tapi rasa kangen menikmati proses developenya, yang harus melalui beberapa tahapan dan diulang. Alasan lain juga, barangkali aku bisa dapat petunjuk siapa pemilik roll film ini.

 

***

 

            Setelah mandi dan ganti kostum dengan yang lebih santai dan simple, aku mulai menyiapkan beberapa wadah dan cairan untuk melakukan proses perendaman pada roll film ini. Juga menyiapkan alat untuk menggulung keluar film-nya, agar tidak terkena cahaya, atau film-nya akan rusak dan seluruh hasil potret tidak akan ter- develop dengan sempurna.

            Sebenarnya hobi aku ini ada pengaruhnya dari kakek aku di Medan. Beliau sudah meninggal beberapa tahun lalu. Tapi aku masih ingat jelas, kalau masa kecilku dulu selalu diajak kakek untuk jalan-jalan ke taman kota kalau aku dan keluarga berlibur kerumah kakek dan kakek selalu mengabadikan masa kecilku dengan kamera analog favoritnya. Saat kakek mengajakku ke taman, kakek selalu menyiapkan beberapa roll film dan baterai cadangan hanya untuk mengabadikan momen kecilku selama seharian kita ada di taman.

Setengah jam setelah memproses roll film tadi, akhirnya kelar juga negative film[10]-nya. Setelah di develope, akan terlihat gambar berupa negative film. Dan harus dilakukan proses scan untuk melihat warna foto aslinya, sekaligus mencetaknya.

Aku melihat 36 hasil potret yang bagus-bagus. Tidak ada 1 film pun yang rusak. 36 foto yang beragam, ada foto bangunan ikonik di Jakarta, juga beberapa kota lain yang aku tidak tau dimana. Yang pasti bukan di Jakarta. Tapi yang aku yang aku kenali adalah foto Monas, Gedung Hotel JW Marriot di Medan, Jembatan Ampera di Palembang dan foto tugu Jogja, aku tau karena melihat-lihat di google, sebab aku pengen banget ke Jogja, sisanya aku tidak tahu ada dikota mana.

            Dalam beberapa deretan foto-foto keren itu, mataku keseret oleh 3 foto yang ada dibagian ujung klise[11], dan aku arahkan foto wajah itu ke cahaya untuk melihat wajah siapa yang ada difoto itu. Kuperhatikan baik-baik dengan seksama juga detail. Ternyata aku tidak mengenali wajah itu. Aku sangka aku akan mengenalnya, ternyata tidak. Tapi yang aku yakini adalah orang yang ada difoto itu pasti pemilik roll film ini.

            Aku juga tidak terlalu memikirkan siapa orang itu. Toh pikirku bukan hal yang penting kenal atau tidaknya aku dengan orang itu. Paling akan kukembalikan klise ini.

            Jam dindingku sudah menunjukkan pukul 03:37 WIB. Sebenarnya aku merasakan mataku belum ada tanda-tanda ingin tidur. Tapi mengingat besok aku ada janji, dan aku juga butuh istirahat untuk lusa, Senin, karena harus kembali bekerja, akhirnya aku memilih untuk merebahkan badanku dikasur yang gak seberapa mahal ini, tapi elegan. Kutinggalkan semua peralatan develope tadi, aku pikir besok saja aku rapihkan.

 

***

 

            “Drrrrt drrrt – drrrt drrt” mataku terbangun karena getaran gawaiku yang ada disebelah bantalku, “panggilan masuk – Andi Codet” tampil di layarku, sebuah panggilan masuk, ternyata dari Andi.

            “Ya Ndi?” sapaku setengah sadar.

            “Eeh… baru bangun kau ya?” suara cemprengnya Andi yang keluar dari speaker gawaiku. “Kau jadi kesini gak? Ini kawanku yang mau aku kenali ke kau udah datang nih” sambungnya. Menyadarkan aku ternyata aku telat bangun, karena suara cemprengnya.

            Saat melihat dalam keadaan setengah sadar kelayar gawaiku, aku terkejut ternyata sudah pukul 14:43 WIB. Langsung saja aku tutup telepon dan bilang “OTW”.[12] Yang aslinya masih harus mandi, sikat gigi, handukan, pilah-pilih baju, pilah-pilih sepatu, kecarian kaos kaki, pakai parfum, jalan buru-buru ke halte dan menggerutu “lama banget sih bus nya”. Haha, Indonesian people banget.

            Tapi saat buru-buru mau cabut dari kontrakan, aku sempat melihat kamera analogku yang terpajang dimeja, tanpa pikir panjang langsung aku ambil, aku bawa untuk jepret-jepret analog diperjalanan, sekalian melepas candu, sudah lama juga aku tidak bermain analog ini. Terlihat juga klise tadi malam yang sudah selesai aku develop, Langsung aku masukkan kedalam tas.

 

***

 

            Setelah 1 jam kejar-kejaran dengan waktu, akhirnya aku tiba dilokasi event rekan Andi. Pameran itu diadakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Sudah lama aku gak mampir ke TIM, sudah banyak sekali perubahan, terutama bangunan-bangunan utamanya, semuanya serba bangunan baru. Terakhir aku kesini itu saat masih zaman sibuk skripsian bareng Andi dan Bagas. Mungkin kalau bukan karena acara pameran ini, entah kapan aku kesini lagi.

            Ruang pamerannya ada di lantai 3, dekat dengan perpustakaan. Sembari menuju ruang pameran, aku keluarkan lagi kamera analogku. Sekalian mengganti roll film nya dengan yang baru. Karena tadi sudah habis 36 shoot aku pakai untuk jepret-jepret beberapa momen diperjalanan dengan bus. Pasti hasilnya epic banget pikirku.

            Dari kejauhan kulihat Andi sedang berbincang dengan seorang perempuan didalam ruang pameran. Kuperhatikan Andi menunjuk ke arahku, aku yakin dia pasti akan bilang “itu dia si kampret baru datang” ke perempuan yang sedang ngobrol bersamanya.

“ngomong apa kau barusan ke mbak ini?” aku yang baru saja buka pintu dan masuk selangkah, langsung menuduh dia.

            “dih… ge-er kali kau, mana ada aku ngomong apa-apa ke mbak ini” Andi yang masih saja dengan candaannya, beralasan sambil tersenyum, memperlihatkan kalau dia sedang bercanda dengan kobohongannya.

            Langsung saja seketika aku, Andi, teman perempuan itu tertawa geli dengan guyonan Andi.

            Setelah saling berkenalan, aku diajak berkeliling melihat objek-objek yang di pamerkan disini. Dan akhirnya aku tau kalau mbak tadi adalah rekan Andi yang menyelenggarakan pameran ini. Indah namanya. Tapi aku merasa gak asing dengan wajahnya.

Ada beberapa karya yang dipamerkan disini, beberapa lukisan dan patung, instalasi, beberapa gadget lama, seperti Vinyl, Walkman, analog cam, recorder tape, juga beberapa syair yang dipajang. Semua karya ini berisi tentang kilas balik tentang gambaran kehidupan kota-kota yang pernah terjadi dalam rentang tahun 1980 – 2021. Perjalanan yang cukup panjang pikirku. Indah pasti sudah melakukan banyak perjalanan untuk menyiapkan karya-karya ini.

            “Ini kenapa kosong?” pertanyaan yang muncul. Saat tak sengaja aku lihat meja cahaya led yang kosong dengan kamera analog versi lomo disebelahnya.

            “Iya, harusnya ini diisi dengan klise yang dipotret dengan kamera ini, tapi klise-nya hilang” dengan senyum dan rasa bersalahnya Indah mencoba menjelaskan pertanyaanku.

            “Oh ya? Sayang banget. Pasti keren tuh hasilnya”.

            “Mungkin sih, soalnya roll film itu isinya beberapa bangunan ikonik dibeberapa kota di Indonesia yang aku ambil 2007 dulu”.

            “Oh ya?”

            Dengan kaget bercampur panik aku langsung menurunkan tas yang kusandang. Sibuk membongkar-bongkar isi tasku. Ternyata aku baru sadar, mungkin klise yang tadi malam aku develope, adalah klise Indah.

            “Ini bukan?” kutunjukkan ke Indah. Klise yang sudah di develope dan tersampul rapih dengan cover plastic-nya.

            “Wah iya, kok bisa di kamu?”

            Kujelaskan cerita dimana aku menemukan roll film itu juga alasan aku men- develope roll film itu, mungkin saja aku bisa tahu siapa pemiliknya. Pantas saja, aku mersa tidak asing dengan wajahnya. Ternyata yang duduk disebelahku saat di bus tempo hari adalah Indah. Indah juga sempat mempertanyakan, kenapa aku bisa membawa roll film itu dalam klise negative film.

            Menjelang pukul 10 malam aku pamit pulang duluan. Sebelum aku pulang Indah meminta nomor whatsapp-ku. Katanya setelah pameran ini selesai dia ingin belajar untuk men-develope roll film itu sendiri. Juga ingin melihat beberapa koleksi barang-barang jadulku.

            “Wih…wih…wih… udah tukaran WA aja nih”

Andi kembali dengan ledekannya. Yang tiba-tiba muncul entah darimana.

 

***

 

Sepulang dari pameran, “ting-ting….ting-ting”, notifikasi pesan whatsapp yang masuk, ternyata dari Indah, “makasih banyak ya mas udah nyelamatin pameran aku atas bantuan klise nya”.

“Iya Ndah, sama-sama” balasku dengan secepat kilat, seperti ekspedisi pengiriman pesan via paket ekspress.

“Jadi nanti ya mas. Aku diajarin buat cuci roll film. Sekalian penasaran lihat koleksinya mas Anwar”.

“Oke Ndah. Aman kok…”

Setelah malam dipameran itu, teringat lagi aku dengan foto-foto di-klise lamaku, foto jalanan yang kupotret dulu. Jadi kangen, sepertinya aku akan kembali aktif memotret dengan kamera analogku, agar jadi catatan linimasa yang bisa aku lihat-lihat lagi nanti. Juga bisa jadi solusi kejenuhanku dari pekerjaan. Lagipula sekarang ini pasti banyak objek yang seru, bangunan sudah pada tinggi-tinggi, jalan protokol sudah lebih bersih dan rapi, trotoar sudah nyaman untuk pejalan kaki. Apalagi sekarang ada Indah, bisa jadi teman buat hunting analog bareng.

***


Pengarang : Muhammad Faisal
Penyunting : Tiara & Amir


[1] Profesi jurnalis atau pencari berita, namun sudah tidak lagi terjun kelapangan

[2] Kursi yang dikhususkan untuk penyandang disabilitas, ibu hamil, lansia, di angkutan umum.

[3] Penyedia layanan jaringan kartu telepon.

[4] Singkatan dari Pendekatan

[5] Bahasa gaul dari begadang

[6] Bahasa gaul dari sangat ingin tahu

[7] Istilah kerja paksa, dalam cerita sejarah penjajahan.

[8] Istilah untuk tidur panjang, biasanya dilakukan oleh tupai atau beruang kutub.

[9] Istilah untuk proses mencetak hasil dari roll film

[10] Hasil roll film yang sudah di proses, tapi masih dalam efek negatife.

[11] Sebutan untuk deretan roll film yang sudah di develop, namun masih dalam efek negative.

[12] Panjangan dari on the way, artinya sedang dijalan.