Penjaringan
![]() |
Foto : Made by Canva |
“Allo, Ray kamu dimana?”
“Masih dirumah nih, napa?”
“Jadi ke Jakarta hari ini?”
“Rencana di jadiin sih, ini lagi
packing”
“Eh, tunggu dong, aku mau kerumah
nih”
“Yaelah, yaudah cepetan ya”
“Wokay…”
***
Sebenernya
sudah lama aku bikin plan ke Jakarta ini. Kembali mengunjungi kota metropolitan
yang amat padat itu. Macetnya, panasnya, gerahnya, duh ampun deh. Ya tapi
mungkin ini yang dinamakan pengorbanan untuk sebuah hubungan.
Sudah
lebih 1 tahun aku LDR tanpa bertemu, Jakarta – Jogja. Padahal hanya berjarak
551 Km, atau maksimal perjalan 10 jam dengan kereta api. Tapi ya mau gimana
lagi, kesibukan kami yang sama-sama padat. Akibatnya belum ada waktu yang pas
untuk saling mengunjungi. Aku yang ke Jakarta, atau dia yang ke Jogja.
Ya,
akhirnya hari ini tiba juga, rencana cuti panjang karena libur imlek kali ini
aku siapkan untuk menghabiskan waktu di utara Jakarta bersama kekasih. Rindu?
Sudah pasti, banget malah, hehe.
***
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam, masuk Ren”
“Idih…dih, udah beres aja, gak
sabar banget sih ketemu yayang, hehe”
“Apaan sih, lebbbbay”
Reni
ini sahabat aku di Jogja, sedari kecil, masih zaman SD kali. Inget banget aku,
dia yang waktu itu makan es krim tapi pas lagi pilek, dan ingusnya meler di es
krimnya, trus dia makan lagi, ih… jijik banget kalau itu diinget-inget, hehe.
“Udah dong Ray, jangan di bahas
terus yang itu, kan masih banyak kenangan kecil yang bagus-bagus. Kenapa harus
itu sih yang diinget” kata Reni dengan kesal kalau aku selalu
nyeritain itu ke ibu atau ke temen kalau lagi nongkrong.
“Kenapa? ada apa?”
pertanyaan yang langsung ku lontarkan, karena permintaan Reni sebelumnya untuk
menunggu dia.
“Mau ke Jakarta kan? nitip, hehe”
rayunya sambil nyengir. Kebiasaan si Reni sih ini. Kalau dia tau aku pergi,
pasti dia bakal buru-buru kerumah dan nunjukin ke aku foto-foto yang sudah di
downloadnya dari google. Foto barang yang ingin dititipkan untuk aku beli dari
kota yang aku kunjungi.
“Tapi kan cuma Jakarta Ren, kan
udah banyak barang kamu yang aku bawa dari Jakarta”
Sebab
ini bukan kali pertama aku ke Jakarta dan hampir tiap aku ke Jakarta, Reni tak
pernah kelewatan sekali pun nitip oleh-oleh yang harus di bawa dari Jakarta
untuknya. Makanya akupun heran juga, kenapa kali ini dia masih nitip oleh-oleh
lagi dari Jakarta.
“Ish, banyak komentar kau nih.”
Celetuk Reni membalas komentarku.
“Iya-iya, nanti aku beliin, udah
ya, aku mau ke stasiun nih, ketinggalan kereta nanti aku.”
“Oke-oke, hati-hati ya, nitip salam
sama yayangmu, hehe”
***
Banyak
hal yang membuat aku rindu dengan kota Jakarta, terutama bagian utara. Kota
yang menyimpan banyak kenangan perihal kisah percintaan ku dengan dia yang jadi
warga pribumi disana.
Yah,
meskipun banyak stereotip yang menyeramkan tentang Jakarta Utara, tapi aku tidak
merasakan itu tiap kali berkunjung kesana. Romantisme kerap kali kami curahkan
disana, ya paling tidak untuk membuat aku selalu rindu untuk kembali merangkul
pecahan-pecahannya selama jauh dari dia.
2016
jadi tahun yang masuk dalam cacatan pentingku, sebab menjadi awal kali kami
bertemu saat aku magang di Jakarta. Kota Jakarta yang begitu padat dan terasa
pengap, masih sempat mempertemukan aku dengan dia. Bahkan saat itu aku berpikir
kalau akan dibunuh oleh kejenuhanku dengan rutinitas yang membosankan ;
magang-pulang, magang – pulang, mentok-mentok buat jalan-jalan paling hanya
ketika weekend. Gak kepikiran tuh untuk mencari pasangan. Yah, boro-boro
kepikiran nyari pasangan, buat makan pizza saja kadang gak sempat.
Tapi
untuk kali ini aku berterima kasih banyak pada Tuhan karena sudah menyusun
rencana baik untuk mempertemukan aku dengan dia di stasiun kereta dengan
skenario terbaik. Ah, rasanya aku takkan mungkin melupakan momen itu. Juga aku
rasa tak siap untuk kehilangan dia kalau Tuhan akan mengambilnya lagi. Aku
selalu berdoa untuk membiarkan kami terus bersama. Ya walaupun untuk saat ini
kami maish terpisahkan dengan jarak. Aku harap kami sama-sama kuat untuk cobaan
pertama ini. Sebab, dalam hubungan pasti akan banyak cobaan-cobaan yang berat
bukan?.
***
Aku
sengaja memilih jam malam untuk perjalan ke Jakarta kali ini. Agar bisa
memanfaatkan waktu untuk istirahat selama perjalanan. Dan pagi sudah tiba di
stasiun Jakarta.
Ya
sebenarnya siang di kota Jakarta selalu membuat aku shock culture. Aku yang terbiasa menikmati cuaca dingin selama di
Jogja, lalu secara tiba-tiba berada di kota yang super panas plus gerah
menurutku sejauh rute perjalananku. Tapi itu juga sebenarnya bisa di siasati
dengan berbagai cara, paling sederhana tentunya menggunakan jacket dan topi.
Lagipula kalau hanya cuaca panas gak bakal mengurungkan niatku untuk menemuinya
di Jakarta. Sudah tidak kuat menahan rindu untuk bertemu tentunya, jadi harus
diusahakan untuk bertemu apapun tantangannya.
10
jam perjalanan yang tidak membosankan untukku kali ini. Mungkin kebanyakan
orang, perjalanan panjang yang memakan waktu 10 jam jadi perjalanan yang
membosankan. Apalagi dengan kereta api, yang tidak berhenti di rest area atau semacamnya. Hanya sekedar
duduk sepanjang perjalanan atau berjalan-jalan ke gerbog tetangga, atau jalan
dari ujung gerbong belakang sampai ujung gerbng depan dekat dengan ruangan Kondekturnya.
Tapi
aku tidak, sama sekali tidak merasakan bosan semenitpun. Beberapa jam awal
perjalanan aku gunakan untuk sekedar menulis cerita pada laptop yang kubawa. Juga
sekedar corat-coret sajak pada halaman notes
yang selalu jadi teman perjalananku. Yah, barangkali secara kebetulan aku bisa
menerbitkan buku dan jadi best seller.
Jika sudah cukup untuk mengisi beberapa cerita pada tulisanku, aku lanjutkan
dengan melihat-lihat pemandangan malam dari balik jendela. Melihat
bintang-bintang yang menari-nari di langit, juga melihat pematang sawah yang
terlihat samar-samar disinari cahaya bulan malam ini. Menjelang tengah malam
aku makan lebih dulu sebelum sisa waktu perjalanan kuhabiskan untuk tidur
sembari mendengarkan lagu santai dengan earphone ku, yang memutar playlist yang
sudah kususun untuk menemani tidurku. Gimana? Itenary perjalanan yang sederhana bukan?
Pagi,
sekitar pukul 8-an aku tiba di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Kulanjutkan perjalananku
menuju Penjaringan dengan bajai, kendaraan roda tiga berwarna biru. Karena sekarang
bajai di Jakarta menggunakan bahan bakar gas, menggantikan bajai oren pada
masanya dulu.
Hah,
perjalanan menuju utara ibukota ini tidak akan lepas dari padat dan macet
jalanan. Jakarta memang begini, macet dimana-mana, panas, gerah. Tapi mau
gimana lagi, jalan kaki jauh, terbang juga gak bisa. Ya sudah nikmati sajalah.
***
Haha,
lucu ya kalau sepasang manusia saling mencintai. Gak peduli jarak tempuh untuk
berjumpa. Sejauh apapun kalau masih bisa ditempuh akan ditempuh, gak peduli
hujan-panas-badai-gemuruh, akan tetap diperjuangkan. Kadang aku selalu
tersunyum-senyum sendiri, ketika mengingat waktu-waktu yang pernah kami lalui
bersama-sama saat bertemu. Saling bercanda-bertukar tawa, saling menjahili
untuk menagih senyum masing-masing, saling menatap dalam-dalam bola mata untuk
menebak seberapa dalam rindu yang dipendam.
Dan
aku selalu rindu tiap kali waktu jauh darinya. Entah bagaimana bisa sosoknya
yang begitu sederhana mencanduiku dengan senyumnya yang ingin selalu aku
nikmati sepanjang malam sebelum mata terpejam. Lembut suaranya yang selalu
ingin aku dengarkan bersama malam yang dingin. Aku ingin terus menghabiskan
waktuku bersamanya kalau bisa. Pergi ke suatu tempat yang damai dan tenang
untuk menghabiskan waktu dan tua bersama suatu hari nanti.
Kami
yang selalu berbagi kebahagiaan untuk mengisi ruang di Penjaringan. Malam menghabiskan
waktu bersama di trotoar jalanan, menyaksikan lampu-lampu indah jalanan,
menikmati bisingnya kereta-kereta yang melintas hingga membuat macet jalanan
karena lamanya pintu palang yang menjaga jalur kereta. Menikmati jajanan malam
yang beraneka macam ragamnya, mulai jajanan yang manis-manis, goreng-gorengan,
nongkrong di angkringan menikmati nasi bakar dengan wedang jahe hangat. Mendengarkan
lagu-lagu yang dinyanyikan pengamen jalanan. Hal-hal sederhana itu menjadi
istimewa seketika, saat aku lewati semua bersamanya. Dia yang dengan
kesederhanaannya membuatku merasa lebih ada, karena aku sempat berpikir
bagaimana cara yang paling keren untuk membuatnya terus bahagia saat bersamaku.
Aku selalu dirumitkan untuk memikirkan hal-hal apa untuk mengistimewakannya. Tapi
setelah kujalani bersamanya, nyatanya aku yang terlalu khawatir berlebihan
kalau aku akan kebingungan untuk menemukan hal-hal itu. Nyatanya sesederhana
apapun itu asal dia bersamaku dia selalu merasa istimewa katanya.
Semoga ya Tuhan, izinkan aku hidup dengan
angan-anganku bersamanya, jaga hati kami, jaga cinta kami untuk terus saling
mengasihi sampai tua, menyaksikan tawa canda cucu kami nantinya. Sehat-sehat
terus ya Tuhan, aku sayang padaMu.
***
Posting Komentar untuk " Penjaringan"