Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penjaringan

Sebuah cerpen yang ditulis oleh Muhammad Faisal. tentang rindu dan cara mencintai dengan sederhana
Foto : Made by Canva


 

            “Allo, Ray kamu dimana?”

            “Masih dirumah nih, napa?”

            “Jadi ke Jakarta hari ini?”

            “Rencana di jadiin sih, ini lagi packing”

            “Eh, tunggu dong, aku mau kerumah nih”

            “Yaelah, yaudah cepetan ya”

            “Wokay…”

 

***

 

Sebenernya sudah lama aku bikin plan ke Jakarta ini. Kembali mengunjungi kota metropolitan yang amat padat itu. Macetnya, panasnya, gerahnya, duh ampun deh. Ya tapi mungkin ini yang dinamakan pengorbanan untuk sebuah hubungan.

Sudah lebih 1 tahun aku LDR tanpa bertemu, Jakarta – Jogja. Padahal hanya berjarak 551 Km, atau maksimal perjalan 10 jam dengan kereta api. Tapi ya mau gimana lagi, kesibukan kami yang sama-sama padat. Akibatnya belum ada waktu yang pas untuk saling mengunjungi. Aku yang ke Jakarta, atau dia yang ke Jogja.

Ya, akhirnya hari ini tiba juga, rencana cuti panjang karena libur imlek kali ini aku siapkan untuk menghabiskan waktu di utara Jakarta bersama kekasih. Rindu? Sudah pasti, banget malah, hehe.

 

***

 

“Assalamualaikum…”

“Waalaikumsalam, masuk Ren”

“Idih…dih, udah beres aja, gak sabar banget sih ketemu yayang, hehe”

“Apaan sih, lebbbbay”

Reni ini sahabat aku di Jogja, sedari kecil, masih zaman SD kali. Inget banget aku, dia yang waktu itu makan es krim tapi pas lagi pilek, dan ingusnya meler di es krimnya, trus dia makan lagi, ih… jijik banget kalau itu diinget-inget, hehe.

“Udah dong Ray, jangan di bahas terus yang itu, kan masih banyak kenangan kecil yang bagus-bagus. Kenapa harus itu sih yang diinget” kata Reni dengan kesal kalau aku selalu nyeritain itu ke ibu atau ke temen kalau lagi nongkrong.

“Kenapa? ada apa?” pertanyaan yang langsung ku lontarkan, karena permintaan Reni sebelumnya untuk menunggu dia.

“Mau ke Jakarta kan? nitip, hehe” rayunya sambil nyengir. Kebiasaan si Reni sih ini. Kalau dia tau aku pergi, pasti dia bakal buru-buru kerumah dan nunjukin ke aku foto-foto yang sudah di downloadnya dari google. Foto barang yang ingin dititipkan untuk aku beli dari kota yang aku kunjungi.

“Tapi kan cuma Jakarta Ren, kan udah banyak barang kamu yang aku bawa dari Jakarta”

Sebab ini bukan kali pertama aku ke Jakarta dan hampir tiap aku ke Jakarta, Reni tak pernah kelewatan sekali pun nitip oleh-oleh yang harus di bawa dari Jakarta untuknya. Makanya akupun heran juga, kenapa kali ini dia masih nitip oleh-oleh lagi dari Jakarta.

“Ish, banyak komentar kau nih.” Celetuk Reni membalas komentarku.

“Iya-iya, nanti aku beliin, udah ya, aku mau ke stasiun nih, ketinggalan kereta nanti aku.”

“Oke-oke, hati-hati ya, nitip salam sama yayangmu, hehe”

 

***

 

Banyak hal yang membuat aku rindu dengan kota Jakarta, terutama bagian utara. Kota yang menyimpan banyak kenangan perihal kisah percintaan ku dengan dia yang jadi warga pribumi disana.

Yah, meskipun banyak stereotip yang menyeramkan tentang Jakarta Utara, tapi aku tidak merasakan itu tiap kali berkunjung kesana. Romantisme kerap kali kami curahkan disana, ya paling tidak untuk membuat aku selalu rindu untuk kembali merangkul pecahan-pecahannya selama jauh dari dia.

2016 jadi tahun yang masuk dalam cacatan pentingku, sebab menjadi awal kali kami bertemu saat aku magang di Jakarta. Kota Jakarta yang begitu padat dan terasa pengap, masih sempat mempertemukan aku dengan dia. Bahkan saat itu aku berpikir kalau akan dibunuh oleh kejenuhanku dengan rutinitas yang membosankan ; magang-pulang, magang – pulang, mentok-mentok buat jalan-jalan paling hanya ketika weekend. Gak kepikiran tuh untuk mencari pasangan. Yah, boro-boro kepikiran nyari pasangan, buat makan pizza saja kadang gak sempat.

Tapi untuk kali ini aku berterima kasih banyak pada Tuhan karena sudah menyusun rencana baik untuk mempertemukan aku dengan dia di stasiun kereta dengan skenario terbaik. Ah, rasanya aku takkan mungkin melupakan momen itu. Juga aku rasa tak siap untuk kehilangan dia kalau Tuhan akan mengambilnya lagi. Aku selalu berdoa untuk membiarkan kami terus bersama. Ya walaupun untuk saat ini kami maish terpisahkan dengan jarak. Aku harap kami sama-sama kuat untuk cobaan pertama ini. Sebab, dalam hubungan pasti akan banyak cobaan-cobaan yang berat bukan?.

 

***

 

Aku sengaja memilih jam malam untuk perjalan ke Jakarta kali ini. Agar bisa memanfaatkan waktu untuk istirahat selama perjalanan. Dan pagi sudah tiba di stasiun Jakarta.

Ya sebenarnya siang di kota Jakarta selalu membuat aku shock culture. Aku yang terbiasa menikmati cuaca dingin selama di Jogja, lalu secara tiba-tiba berada di kota yang super panas plus gerah menurutku sejauh rute perjalananku. Tapi itu juga sebenarnya bisa di siasati dengan berbagai cara, paling sederhana tentunya menggunakan jacket dan topi. Lagipula kalau hanya cuaca panas gak bakal mengurungkan niatku untuk menemuinya di Jakarta. Sudah tidak kuat menahan rindu untuk bertemu tentunya, jadi harus diusahakan untuk bertemu apapun tantangannya.

10 jam perjalanan yang tidak membosankan untukku kali ini. Mungkin kebanyakan orang, perjalanan panjang yang memakan waktu 10 jam jadi perjalanan yang membosankan. Apalagi dengan kereta api, yang tidak berhenti di rest area atau semacamnya. Hanya sekedar duduk sepanjang perjalanan atau berjalan-jalan ke gerbog tetangga, atau jalan dari ujung gerbong belakang sampai ujung gerbng depan dekat dengan ruangan Kondekturnya.

Tapi aku tidak, sama sekali tidak merasakan bosan semenitpun. Beberapa jam awal perjalanan aku gunakan untuk sekedar menulis cerita pada laptop yang kubawa. Juga sekedar corat-coret sajak pada halaman notes yang selalu jadi teman perjalananku. Yah, barangkali secara kebetulan aku bisa menerbitkan buku dan jadi best seller. Jika sudah cukup untuk mengisi beberapa cerita pada tulisanku, aku lanjutkan dengan melihat-lihat pemandangan malam dari balik jendela. Melihat bintang-bintang yang menari-nari di langit, juga melihat pematang sawah yang terlihat samar-samar disinari cahaya bulan malam ini. Menjelang tengah malam aku makan lebih dulu sebelum sisa waktu perjalanan kuhabiskan untuk tidur sembari mendengarkan lagu santai dengan earphone ku, yang memutar playlist yang sudah kususun untuk menemani tidurku. Gimana? Itenary perjalanan yang sederhana bukan?

Pagi, sekitar pukul 8-an aku tiba di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Kulanjutkan perjalananku menuju Penjaringan dengan bajai, kendaraan roda tiga berwarna biru. Karena sekarang bajai di Jakarta menggunakan bahan bakar gas, menggantikan bajai oren pada masanya dulu.

Hah, perjalanan menuju utara ibukota ini tidak akan lepas dari padat dan macet jalanan. Jakarta memang begini, macet dimana-mana, panas, gerah. Tapi mau gimana lagi, jalan kaki jauh, terbang juga gak bisa. Ya sudah nikmati sajalah.

 

***

 

Haha, lucu ya kalau sepasang manusia saling mencintai. Gak peduli jarak tempuh untuk berjumpa. Sejauh apapun kalau masih bisa ditempuh akan ditempuh, gak peduli hujan-panas-badai-gemuruh, akan tetap diperjuangkan. Kadang aku selalu tersunyum-senyum sendiri, ketika mengingat waktu-waktu yang pernah kami lalui bersama-sama saat bertemu. Saling bercanda-bertukar tawa, saling menjahili untuk menagih senyum masing-masing, saling menatap dalam-dalam bola mata untuk menebak seberapa dalam rindu yang dipendam.

Dan aku selalu rindu tiap kali waktu jauh darinya. Entah bagaimana bisa sosoknya yang begitu sederhana mencanduiku dengan senyumnya yang ingin selalu aku nikmati sepanjang malam sebelum mata terpejam. Lembut suaranya yang selalu ingin aku dengarkan bersama malam yang dingin. Aku ingin terus menghabiskan waktuku bersamanya kalau bisa. Pergi ke suatu tempat yang damai dan tenang untuk menghabiskan waktu dan tua bersama suatu hari nanti.

Kami yang selalu berbagi kebahagiaan untuk mengisi ruang di Penjaringan. Malam menghabiskan waktu bersama di trotoar jalanan, menyaksikan lampu-lampu indah jalanan, menikmati bisingnya kereta-kereta yang melintas hingga membuat macet jalanan karena lamanya pintu palang yang menjaga jalur kereta. Menikmati jajanan malam yang beraneka macam ragamnya, mulai jajanan yang manis-manis, goreng-gorengan, nongkrong di angkringan menikmati nasi bakar dengan wedang jahe hangat. Mendengarkan lagu-lagu yang dinyanyikan pengamen jalanan. Hal-hal sederhana itu menjadi istimewa seketika, saat aku lewati semua bersamanya. Dia yang dengan kesederhanaannya membuatku merasa lebih ada, karena aku sempat berpikir bagaimana cara yang paling keren untuk membuatnya terus bahagia saat bersamaku. Aku selalu dirumitkan untuk memikirkan hal-hal apa untuk mengistimewakannya. Tapi setelah kujalani bersamanya, nyatanya aku yang terlalu khawatir berlebihan kalau aku akan kebingungan untuk menemukan hal-hal itu. Nyatanya sesederhana apapun itu asal dia bersamaku dia selalu merasa istimewa katanya.

 Semoga ya Tuhan, izinkan aku hidup dengan angan-anganku bersamanya, jaga hati kami, jaga cinta kami untuk terus saling mengasihi sampai tua, menyaksikan tawa canda cucu kami nantinya. Sehat-sehat terus ya Tuhan, aku sayang padaMu.

 

***

 

Posting Komentar untuk " Penjaringan"