Menanti Biru
![]() |
Foto : Made by Canva |
Tidak ada yang pernah
mengira kalau sore itu aku harus merasa perih lagi sebab luka yang aku yakin
sudah sembuh. Tapi ternyata belum sembuh sempurna. Seperti sore ini, yang tanpa
sebuah sayatan, luka itu terbuka lagi membuatku kembali sesak. Rasanya seperti
baru kemarin aku tersayat pisau yang sangat tajam. Padahal itu terjadi sudah
berminggu-minggu lalu.
Sore yang menurutku langit sedang ceria-cerianya. Angin
yang tak begitu kencang. Bahkan burung yang sedang bertengger dipohon cemara
saat itu, kuyakin juga sedang menikmati suasana sore itu.
Aku yang mengira sore itu takkan terjadi apa-apa. Memilih
untuk pergi keluar dari kamar disudut rumah yang jadi tempatku menangis
terisak-isak setiap kali mengingat dirimu yang sempat kulihat tertawa mesra di
café yang jadi tempat kita sering menghabiskan waktu bersama. Dan siapa yang
mengira, kalau ternyata semua hal indah yang pernah kita lalui bersama tidak
berakhir dengan keindahan juga. Bahkan sekarang, aku merasa aku hancur
sendirian. Sedangkan kamu seperti hilang ditelan angin. Tak pernah sekalipun
aku terima kabar dari kamu yang setidaknya menanyakan kabarku setelah kamu
remukkan segala mimpi dan harapanku yang pernah aku rencanakan untuk kamu.
***
Karena aku rasa kalau aku terus seperti itu, menyendiri
dan menangis dibalik bantal, tentu saja aku takkan menangis didepan
teman-temanku. Apalagi harus mempublish
disosial media. Bahkan gak jarang juga aku tidak makan seharian. Karena memang
nafsu makanku setelah melihat hal itu semua tiba-tiba hilang. Teman-teman ku
pun sering kali menelpon, menanyakan kabarku yang sudah beberapa minggu tidak
muncul di kelas. Mengingatkanku untuk menyudahi ini. Bersedih berlarut-larut,
sampai harus melewatkan waktu makan. Mereka kira itu hanya akan menyiksa diri
sendiri.
Kau tahu? Sepertinya yang aku lakukan saat itu adalah
hanya untuk mengemis perhatian darimu. Yang ternyata tidak sama sekali
memikirkanku lagi. Dan bodohnya aku tidak menyadari hal itu. Aku pun masih
dengan keyakinan penuh pada diriku sendiri bahwa kamu akan berbalik. Yang
tiba-tiba akan menanyakan kabarku atau tiba-tiba datang kerumah untuk mengakui
kesalahan dan meminta maaf. “Ah, tentu
aku akan dengan senang hati memaafkanmu”. Dengan bodohnya aku masih
berfikir untuk kembali menyayangimu. Setelah kenyataannya kau tak lagi pernah
muncul dipermukaan berandaku.
Kau mungkin juga gak pernah tahu sebesar apa harapan dan
cita-cita yang sudah aku susun untuk kamu dan aku di masa depan. Tentunya
setelah kuliah kita sama-sama selesai dengan baik.
Aku sudah dengan sangat baik merencanakan usaha coffeeshop yang nantinya kita kelola
sama-sama. Kamu yang mengelola dibagian keuangannya, aku yang mengurus untuk
kualitas dan pelayanannya.
Sebelumnya memang aku gak pernah cerita ke kamu atau
siapapun. Masih hanya aku dan adikku yang tahu. Karena saat ini aku minta
bantuan adikku untuk mengelola sementara disana. Karena coffeeshop yang sedang aku persiapkan untuk kita ada dikampung.
Hah, rasanya masih belum bisa menerima kalau ternyata
kamu memilih pergi.
***
Itu sebabnya aku rasa aku hanya akan terus menyakiti
diriku sendiri dengan terus berkhayal seperti itu. Mungkin bukan hanya badanku,
tapi juga mental dan batinku yang akan semakin tersiksa. Aku rasa aku juga akan
melewatkan banyak moment bahagia nantinya kalau terus bersedih tanpa arti
seperti itu.
Lalu sore itu aku memilih untuk menguatkan diriku
sendiri. Dengan akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari rumah, menghirup
udara segar lagi. Setelah berminggu lamanya aku mengurung diri dikamarku.
Setelah
membereskan kamarku yang sudah berantakan gak karuan. Ah, seperti bukan kamar
anak lajang kurasa. Buku-buku berserakan. Kertas bekas coretan-coretan yang gak
jelas juga berantakan memenuhi lantai kamarku yang biasanya tertata rapih.
Aku
pergi membawa sepedaku, gak tau mau kemana. Kemana saja pikirku, terserah
tanganku membawa setir sepeda ini saja. Aku rasa aku perlu menemukan suasana
baru. Daripada aku terus-terusan mengurung diri dalam kamarku, yang ada aku
makin frustasi dan mulai berpikir bunuh diri nantinya. Ah, jangan sampai. Bodoh
sekali rasanya aku jika sampai melakukan hal itu. Bodoh…bodoh…bodoh.
***
Aku
tidak mengira, sore itu lenganku membawa setir sepeda yang kukayuh dengan
santai ini melewati coffeeshop itu
lagi. Tempat yang berhasil membuat aku terluka untuk pertama kalinya dalam
percintaan. Karena melihat kamu duduk berdua menikmati langit sore di rooftop,
saling bercanda lalu melahirkan tawa yang begitu romantis kulihat dari seberang
jalan.
Aku
gak pernah berpikir akan terjadi moment ini. Aku juga gak pernah mengira kalian
akhirnya saling punya rasa. Bahkan aku gak berhasil menebak sejak kapan perasaan
kalian saling terkoneksi. Karena kurasa, aku dan kamu sering menghabiskan waktu
bersama. Kita hanya terpisah saat malam ketika hendak istirahat. Atau ketika
kita libur kuliah dan pulang ke kampong kita masing-masing. Bahkan aku selalu
ada saat kalian bertemu tanpa rencana. Karena kamu kekasihku, dan dia
sahabatku.
Tentu
kalian hanya akan bertemu, kalau aku dan sahabatku itu ada janji untuk bertemu.
Kadang membahas tugas atau hanya sekedar nongkrong bareng. Lalu kapan? Atau
kenapa bisa rasa diantara kalian muncul?.
Dan
yang aku habis pikir adalah ke kamu. Kenapa bisa kamu tidak memikirkan perasaan
aku waktu itu. Bagaimana aku ke kamu selama ini. Waktu yang kita lalui
bersama-sama. Aku rasa aku selalu menyediakan waktu untuk kamu. Ada saat kamu
ingin ditemani. Selalu menemani saat kamu sakit tempo hari. Ikut menemani kamu
nyelesaiin tugas-tugas kamu. Bukan aku ingin mengungkit itu, bukan. Itu hanya
pertanyaan dalam benakku ke kamu. Pertanyaan yang tak tersampaikan ke kamu.
Jadi aku tak tahu jawaban dari pertanyaan itu.
Tapi
kamu kemana?
Kamu
tahu? Dulu, pagi adalah hal yang paling aku tunggu setiap hari. Hanya untuk
segera bisa ketemu kamu lagi. Agar aku gak terlambat untuk jemput kamu di
halaman rumah kamu dan kita berangkat ke kampus sama-sama.
Saat
kamu duduk dibelakang jok motor ku yang aku rasa sudah terlalu tua untuk kita
yang baru saja memulai romansa anak muda adalah hal sederhana yang membuat aku
senyum bahagia sendiri sambil menyetir roda motor itu menuju kampus kita. Pun
mungkin saja kamu mengintip senyum ku lewat spion yang sebagian kecil bisa kamu
lihat dari tempat kamu duduk dibelakangku.
Kamu
tahu? Dulu segalanya jadi hal favorit untukku selama itu dilalui bersama kamu.
Melihat bintang di 5 Januari, karena kata kamu ditanggal itu langit sedang
cerah-cerahnya. Sehingga bintang akan terlihat dengan jelas asal kita ada
ditempat yang sedikit cahaya. Lalu kamu memilih atap rumah untuk melihat itu.
Dan kita habiskan malam diatap itu, berdua. Ngobrolin banyak hal sampai yang
absurd. Sampai langit mulai terang perlahan-lahan. Menampakkan kebiruannya
menuju terang.
Kamu
juga suka mengajakku jalan-jalan ke toko buku, hanya untuk baca buku terbaru
dengan gratis. Bahkan sampai toko itu tutup. Kamu tahu? Sejak saat itu aku
mulai suka dengan huruf-huruf yang tersusun rapih setiap lembarnya. Sebelumnya
aku tak pernah suka membaca cerita-cerita dalam buku. Aku lebih suka menonton
film. Ya bukan berarti aku mulai suka membaca karena terpaksa. Malah aku mulai
merasakan “oh, begini rasanya masuk kecerita dalam buku”. Bagus kan? sebelumya
aku sama sekali tak bisa merasakan hal itu. Tapi berkat kamu yang aku rasa
punya dunia bebeda untuk membawaku ke kehidupan yang lebih seru.
Tapi
berminggu setelah kamu hilang. Aku rasa aku kehilangan kuas untuk mewarnai
hari-hariku yang biasa aku lalui sama kamu. Aku kehilangan kamu sebagai sosok
yang mewarnai hidupku.
***
“Hah…” aku
hanya bisa menghela nafas panjang kali ini. Sedang berusaha keras untuk
meneriman ini. Menerima kamu yang sudah hilang. Menerima aku yang sekarang
bukan lagi sosok yang kamu tunggu. Bukan lagi orang yang selalu menghibur kamu.
Sekarang aku sedang belajar untuk bisa mewarnai hari-hariku sendiri.
Jujur,
aku gak pernah mengira kalau akan sesakit ini jika gagal dalam urusan perasaan.
Aku kira, dulu jatuh cinta adalah hal yang paling indah untuk dikenang. Iya
benar, dulu. Bukan sekarang. Dulu saat semuanya baru dimulai, sedang
hangat-hangatnya kita menjalani segalanya bersama. Pasti akan terasa sangat
indah dan ingin terus begitu selamanya. Tapi rasa sakit dan sesaknya gak
sebanding kalau kita gagal dengan harapan itu. Dan kita juga gak pernah
mempersiapkan diri untuk hal ini bukan?. Siapa sih yang ingin menjalin hubungan
lalu berpisah, takkan ada kurasa. Itu sebabnya aku tak pernah mempersiapkan
diri untuk perpisahan ini. Dan itu berat. Sulit mendefinisikan sakit seperti
ini. Tak terlihat. Tak bisa disentuh. Dan aku pun bingung bagaimana cara untuk
menyembuhkan ini. Sudah kuceritakan bagaimana aku sebelumnya menghadapi luka
ini. Dan kali pertamanya aku menguatkan diri untuk keluar rumah. Tapi akhirnya
aku dibawa lagi untuk mengingat luka itu.
“Aaaaaaaaaaargh…”
Tiba-tiba saja aku berteriak sekencang-kencangnya di ujung batu pantai ini.
Tidak aku niatkan sebelumnya. tiba-tiba saja teriakan itu keluar. Saat
kekecewaanku memuncak dan mengingat semua rasa sakit itu.
Tapi
seketika aku sadar kalau aku ada dalam keramaian orang-orang yang berkujung
dipantai ini. “Haduh”. Seketika aku
merasa bego sendiri. melirik kanan-kiri ku, ternyata mereka semua menatap
kearahku. Aku tak berani bergerak apalagi berbalik badan. Kakiku rasanya
terpaku malu dengan teriakanku barusan. Setelah ku tarik nafas dalam-dalam. Aku
duduk pada tumpukan batu pemecah ombak disana. Ya, berharap orang-orang akan
kembali tidak memperdulikanku lagi.
***
Tapi
setelah itu entah kenapa aku merasa lebih baik. Aku rasa lebih lega dari
beberapa minggu sebelumnya. Iya, aku yakin ini benar-benar lebih ringan. Isi
kepalaku juga rasanya lebih fresh. Magic banget, pikirku. Haha.
Langit
sore itu mulai membiru menuju gelap. Tapi aku masih merasa nyaman ada disini.
Perasaanku lebih tenang, menikmati deburan ombak yang bergulung-gulung menepi
kepantai. Melihat nelayan yang mendorong perahunya dan beranjak meninggalkan
pelabuhan. Sesekali aku menikmati perasaan legaku ini dengan menghela nafas.
“Kadang teriak itu emang bikin
lega, tapi lihat-lihat sekitar dong, tadi orang-orang ngiranya kamu mau bunuh
diri.”
Aku
terkejut. Kenapa tiba-tiba ada suara yang nyeramahin aku.
Kulihat
kebelakang punggungku. Ada seorang perempuan yang berdiri dengan membawa 2 cup
minuman. Perempuan dengan kerudung biru dan cardigan berwarna cream dengan rok
berwarna biru yang terkibas-kibas karena angin dari laut. Siapa dia? Malaikat,
pikirku yang tidak serius. Haha. Mana ada hari gini malaikat datang memberi
ceramah lalu tiba-tiba hilang. ini bukan film azab di televisi.
Lalu
aku pun tersenyum dan tertawa sedikit karena masih merasa malu atas kebodohanku
tadi yang tiba-tiba saja teriak.
“Hehe… oh ya?” Aku
tidak menyangka kalau orang-orang sampai berpikir aku akan bunuh diri.
“Nih, minum dulu. Aku gak tau kamu
suka apa enggak. Ya semoga aja suka, biar gak mubadzir.” Dia
menyodorkan 1 cup minuman yang dipegangnya. Wah, ternyata es kopi susu yang dia
bawa. Keren juga perempuan ini, cewek tapi suka kopi. Aku sendiri suka tapi
jarang sekali minum kopi.
“Untukku? Wah thank you.”
Aku rasa karena aku sudah merasa lega dan lebih fresh. Sehingga bisa menyambut
dia yang datang tanpa kuduga dengan hangat. Ya, aku kira tidak akan sama kalau
aku masih dalam keadaan kecewaku sebelumnya.
“Biru”
Dia ikut duduk disebelahku sambil berkata Biru.
“Hah?” Aku
bingung dan mengira dia bicara kurang jelas, sehingga aku hanya mendengar kata
biru.
“Namaku Biru.”
Dia kembali mengatakan biru dan membuat aku paham ternyata dia memberi tahu
namanya barusan. Bagus juga namanya pikirku, Biru.
“Gimana? Sudah lebih baik?”
Tiba-tiba dia melanjutkan dengan pertanyaan yang membuatku sedikit tersenyum
dengannya. Aku berpikir dia adalah perempuan unik sore itu.
“Iya, sudah lega. Aku juga mikir,
kenapa gak dari kemari-kemarin aja aku teriak. Padahal aku bisa teriak kapan
saja.” Kami
membiarkan obrolan yang tanpa rencana itu mengalir saja.
Dia
bercerita, kalau dia pun tiba-tiba kaget mendengar teriakan saat baru saja
masuk kedalam coffeshop. Ketika dia
cari sumber teriakan yang berasal dari aku, dia memperhatikan aku yang ternyata
sendiri. Seketika dia berpikir mungkin aku sedang tidak baik-baik saja. Aslinya
memang benar, bukankah sebelumnya aku tidak baik-baik saja. Lalu dia memutuskan
untuk memesan 2 cup kopi dan berjalan menghampiriku.
Aku
pun beritahu ke Biru, kalau aku teriak tadi spontan. Tadi aku hanya terbawa
kenangan masalalu yang membuatku sangat kecewa. Spontan saja. Aku juga bingung
kenapa aku bisa teriak sebegitu kencangnya. Ya memang, setelah itu aku
benar-benar lega.
Sore
itu, sambil menunggu biru langit yang menggelap aku dan Biru banyak bertukar
cerita. Tentang dirinya, tentang diriku. Tentang keluarga dia, tentang
keluargaku juga. Sedikit tentang masalalu dia, juga sedikit tentang masalaluku.
***
“Makasih
banyak ya Ru.” Ucapku tiba-tiba yang tadinya kami saling diam. Menatap bintang
dilangit yang sama.
Setelah
banyak cerita untuk mengisi pertemuan kami hari ini. Seketika kami saling
hening. Aku senyum sendiri. mengingat aku beberapa minggu lalu sudah seperti
ayam potong yang tak punya gairah hidup. Tapi pada akhirnya aku sedang ada
dititik ini. Di sore yang membawa aku kepantai ini, lalu berteriak yang
membuatku lebih lega. Dan tuhan pun menghadirkan sosok Biru.
Bukan
karena Biru sosok perempuan lalu aku akan berpikir berpaling ke Biru setelah
rasa sakit dan kecewa. Walaupun tidak menutup kemungkinan itu akan terjadi.
Tapi untuk saat ini. Aku senang ada Biru, karena aku merasa bisa lebih menerima
kenyataanku saat ini. Tentang rasa kecewa dan sesak dada yang kadang masih
memenuhi ruang nafasku. Biru bilang, “gak
papa, gak perlu dipaksa lupa, gak perlu dipaksa sembuh. Kalau dipaksa yang ada
makin lama. Ikhlasin aja, terima saja. Kalau tiba-tiba sesak, nikmatin aja.
Pelan-pelan, nanti juga sembuh sendiri.”
“Haah..” Aku
menghela nafas, tiba-tiba.
“Sekarang aku gak apa-apa. Aku rasa
aku akan bisa bertahan. Aku rasa aku akan baik-baik saja. Dan aku yakin
sekarang aku bisa melanjutkan cerita hidup ini tanpa kamu”.
Kataku dalam hati. Untuk mengajak diriku sendiri terbiasa berjalan sendiri dan
bisa sembuh untuk luka itu.
***
“Iya sama-sama”
Biru menjawab ucapan terimakasih ku tadi.
Kami
masih menikmati malam yang cerah sisa sore tadi. Dengan lampu-lampu perahu
nelayan yang sudah jauh dari bibir pantai. Sembari berdo’a agar malam ini para
nelayan menangkap banyak ikan. Aamiin.
selamat membaca kawan-kawan, semoga cerpen-cerpen saya menghibur waktu luang kawan-kawan ya
BalasHapus