Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dialog Dalam Gelap

Sebuah cerpen yang ditulis oleh Muhammad Faisal. tentang seorang gadis yang frustasi sebagai mahasiswa semestar akhir
Foto : Made by Canva


            Akhirnya, setelah hampir sebulan jenuh dengan deadline tugas yang cukup membuat kepala puyeng, judul skripsiku di acc juga. Emang berat jadi mahasiswa semester akhir, kataku dalam benak yang selalu ingin mengeluarkan suara jeritan menyerah. Gimana gak puyeng, untuk mengejar jadwal kali ini saja aku harus nge-gas tugas-tugasku. Mulai sejak menjelang akhir tahun kemarin untuk pengajuan seminar dibulan April nanti. Bahkan saat orang-orang bahagia merayakan pesta kembang api dimalam tahun baru, aku masih sibuk dengan buku-buku dan laptopku dalam kamar kosan yang sepetak ini. Kebayangkan gimana bete-nya aku, huh. Semoga usahaku kali ini gak mengecewakan.

            Tapi, selain tugas kuliah atau kuliahku yang gak kelar-kelar. Hal lain yang ikut membuat aku semakin terbebani adalah melihat teman-teman seangkatanku sudah pada selesai lebih dulu L. Bahagia sih, melihat mereka sudah menyelesaikan tugas wajib mereka sebagai anak ke orang tuanya. Tapi di aku, sedihnya lebih banyak. Selain iri, aku juga kesal karena selalu jadi banding-bandingan oleh orang tuaku jika aku pulang kampung. Selalu saja muncul pertanyaan “kapan kuliahmu selesai Nduk?” atau “piye Nduk, kok kuliahmu gak beres-beres, anaknya si anu udah selesai loh!” Hah, rasanya jadi malas pulang kampung sebelum kuliahku beres kalau tiap pulang selalu dihantui dengan pertanyaan itu.

            Iya sih jadi motivasi. Tapi yang aku tangkap, kesannya bukan seperti memotivasi anaknya. Tapi malah nyalahin atau lebih terkesan memburu-burui. Padahal selama ini ku juga selalu berusaha untuk bisa segera menyelesaikan tuntutan yang satu ini dari orang tuaku. Tapi kenyataannya ‘kan gak semudah bicara. Kurang semangat apa coba aku selama ini untuk bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu. Yah, sejak akhir semester 8 dan aku gagal lagi. Aku mulai belajar mengendalikan diri dan pikiranku untuk tetap terjaga sehat dan waras. Daripada terus-terusan menggerutu dan kesal sendiri dalam batin yang nantinya bisa membuat aku gila. Aku mencoba melarikan diri, mencari ketenangan untuk berdamai dan belajar memeluk diriku sendiri ke gunung.

            Tapi belakangan ini aku mulai suka sendiri-sendiri kalau ingin berangkat kemah ke gunung. Dulu awalnya aku sama sekali gak tertarik dan selalu menolak jika diajak naik gunung. Ya apalagi alasannya kalau bukan untuk mengejar lulus kuliah tepat waktu. Ah, tapi ternyata gak ngaruh juga. Saat aku menyaksikan teman satu kelas mata kuliahku yang aktif naik gunung sebelum masuk kuliah, bisa selesai dan lulus tepat waktu. Gimana gak nyesek coba. Dia yang selalu naik gunung dan aktif dalam kegiatan Mapala bisa selesai kuliah lebih dulu daripada aku.

            Dan entah apa sebenernya alasanku untuk mulai mencoba ikut naik gunung. Aku juga gak tahu apa alasan sebenarnya. Tapi waktu itu, saat aku diajak naik gunung pertama kali oleh Tari, sahabatku dikampus. Aku langsung meng-iya-kan, tanpa berpikir panjang. Tari juga heran saat itu. Tumben-tumbenan aku mau diajak naik gunung tanpa keraguan. Mungkin sih, saat itu emang lagi stress parah kali dan aku butuh suasana baru untuk menikmati ke-stress-an ini. Itu sebabnya aku langsung meng-iya-kan ajakan Tari waktu itu.

            Sebenarnya Tari juga sama denganku, masih belum selesai dengan urusan perkuliahan. Tapi sejak awal masuk kuliah Tari memang antusias sekali dengan kegiatan Mapala. Ya begitulah, akhirnya Tari sibuk dengan kegiatan-kegiatan Mapala dan naik gunung. Tapi bisa-bisanya dia tenang dan santai saja dengan urusan perkuliahannya. Ah entahlah, belum sanggup aku mengurusi orang lain. Kuliahku sendiri saja belum ada titik cerah yang bisa membuat aku sedikit tarik nafas.

 

***

 

            Dan kurasa kali ini aku kembali butuh ketenangan di alam. Entah kenapa, tiba-tiba saja saat mendapati judul skripsiku di ACC sore tadi. Aku langsung kepikiran untuk menghela nafas panjang sejenak dengan suasana tenang diatas gunung.

            Untungnya saat ini pelengkapan kemahku sudah lengkap. Sengaja aku menyisihkan uang kiriman dari orang tuaku untuk kubelikan perlengkapan kemah dan naik gunung. Ya walaupun gak semuanya, paling aku hanya melengkapi perlengkapan pribadi saja, seperti matras, tas gunung, sleeping bag, kompor dan nesting. Aku sengaja tidak membeli tenda, karena aku pikir akan jarang digunakan nantinya. Ya, walaupun belakangan ini lebih suka sendiri. Biasanya kalau aku naik gunung bersama Tari dan kawan-kawan, tenda dan peralatan tim lainnya sudah disiapkan oleh anak-anak cowok. Aku dan Tari biasanya nebeng ditenda mereka. So, karena itu. Aku rasa kalau aku beli tenda pribadi tidak akan terlalu sering dipakai nantinya. Dan kalaupun aku berangkat sendiri seperti kali ini. Aku bisa sewa ditoko rental outdoornya Edo, salah satu teman yang selalu hadir kalau naik gunung bareng.

Aku pikir lebih murah menyewa tenda daripada membelinya. Karena jarang kupakai dan aku juga tak terlalu sering kemah sendiri. Hanya sesekali jika dalam mode low soul seperti ini. Saat kepala sudah stress dipenuhi beban-beban yang gak karuan. Saat itulah aku perlu melarikan diri dalam ketenangan yang hakiki, asek.

           

***

            “Halo, Do. Lu dimana? Ditoko gak?” Setelah selesai packing perlengkapan yang akan ku bawa. Aku menelpon Edo, memastikan dia ada ditoko sebelum aku kesana. Karena kalau aku tidak ditelpon lebih dulu, pas sampai sana tau-tau dia ga ada ditoko. Kan kecewa. Karena toko Edo berlawanan arah jika ingin menuju kegunung. Ya walaupun masih satu kota, tapi dari kost aku ke toko Edo bisa setengah jam perjalanan. Itu sebabnya aku harus memastikan dia ada disana sebelum aku ketoko.

            “Iya ada, lu dimana Res?”

            “Gue masih di kost, bentar lagi gue kesono, lu jangan kemana-mana ya.” harus digituin, siapa tahu dia ada rencana mau nongkrong. Kan sia-sia juga aku kesana kalau sampai sana dianya gak ada.

            “Oh oke, gue tungguin, disini juga ada anak-anak.”

            “Oke, sip.” Setelah final check dan memastikan semua keperluan yang harus ada dalam perjalananku kali ini. Aku langsung berpamitan pada guling, kasur, dan boneka-boneka yang jadi penghuni kost sementara selama aku gak ada.

            Setelah memastikan pintu kost terkunci dengan aman, aku langsung menuju parkiran. Menyalakan mesin si Motu alias motor tua untuk menamakan motor hasil warisan kakekku yang menemani perjuanganku selama menimba ilmu disini. Sebenarnya ibuku sudah menawarkan motor yang lebih baik untukku, tapi aku yang tidak mau. Aku rasa lebih keren aja kalau cewek mengendarai motor klasik. Terlihat aesthetic gitu, hehe. Motor keluaran Suzuki pada tahun 1986 ini, sudah menjadi motor kesayangan kakekku di masa mudanya. Sebab, bersama motor ini kakek juga pertama kali mendapatkan gadis yang menjadi pacarnya saat itu, yang sekarang ini sudah menjadi nenekku. Wah, romantis sekali kisah mereka. Lain waktu akan aku tuliskan kisah mereka menjadi sebuah novel.

            Malam ini masih pukul 19:30. Aku langsung menuju toko rental outdoor Edo. Menikmati angin malam Motu. Malam ini juga cerah, banyak bintang. Ah, pasti akan jadi perjalanan yang menyenangkan kali ini.

            Setengah jam menempuh arak dari kost menuju toko Edo. Akhrinya sampai juga. Kubawa Motu ke halaman tokonya, yang dijadikan parkiran motor. Banyak juga motor yang terparkir disana. Satu…  dua… tiga… ,…, tujuh. Ah, bodo amat. Untuk apa juga aku hitung berapa banyak yang parkir disini.

            Toko rental Edo juga dipakai sebagai tempat ngumpulnya anak-anak Mapala. Jadi gak heran kalau disini selalu ramai. Kadang mereka juga menginap kalau sedang suntuk dikost masing-masing. Termasuk aku, kalau lagi pengen kumpul. Tapi kalau aku sedang fokus mengerjakan skripsi ku, aku pakai mode alone. Berhari-hari mengurung diri dikost. Perlu kefokusan yang extra. Sebab, kalau aku ikut nimbrung bareng mereka, yang ada laptop aku hanya akan terkurung dalam tas. Tak disentuh sedikitpu. Kasihan dia, tidak dibelai. Haha.

            Kali ini anak-anak terlihat lengkap. Hadir semua, termasuk Tari.

            “Halo guys. Apa kabar kalian?” sapaku diantara mereka yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang ngobrol, ada yang main game, Tari yang sedang didepan laptopnya, Edo yang sibuk menyusun rak-rak ditokonya.

            “Hai Resha.” Jawab mereka bersahut-sahutan.

            “Mau kemana Res?” Tanya bang Andre, yang tadi sedang ngobrol bersama anak-anak yang lain.

            Sudah pasti mereka akan menanyakanku hendak kemana. Walaupun tas gunung aku tinggal diatas motor. Tapi aku sudah menggunakan pakaian longtrip. Pakai mantel, kupluk, celana jeans, dan mungkin mereka sempat melihat aku melepaskan sepatu outdoorku. Karena toko ini menggunakan full kaca untuk bagian depannya. Sehingga akan terlihat siapa yang datang sebelum masuk.

            “Mau nanjak Res?” sambung Edo, sebelum pertanyaan bang Andre tadi aku jawab.

            “Iya nih Do, bang. Tarik nafas dulu lah, hehe.” jawabku sambil cengengesan karena hari ini cukup membuat ku senang. Ya setidaknya sudah maju satu langkah karena judul skripsi ku di terima.

            “Gue mau make tenda Do, ada? Sama refill gas?”

            “Ada, berapa gasnya? Tendanya lu pilih aja di rak tuh” jawab Edo, sambil memonyongkan mulutnya menunjuk ke arah rak tenda, karena tangannya masih sibuk menyusun barang-barang.

            “Gasnya 3 Do.” Sambil aku ke rak tenda. Mengambil tenda favorit yang selalu aku pakai kalau menyewa disini.

            “Tenda yang biasa mana Do?” tanyaku saat aku tidak menemukan tenda yang biasa kupakai di rak tenda.

            “Oh, yang itu. Ini nih.” Edo mengambil tenda yang biasa aku pakai dari balik meja sekalian dengan gas kaleng yang akan ditukar dengan kaleng gas kosongku.

            “Yang lain mana Tar?” tanyaku ke Tari yang sibuk dengan laptopnya.

            “Ada tuh dibelakang. Lagi pada masak.” Jawab Tari yang matanya masih fokus dengan layar laptop dan jarinya yang tak-tik di keyboard. “Lu udah makan Res?” sambung Tari dengan pertanyannya.

            “Gue nanti aja. Makan di jalan. Asik kayaknya makan nasi goreng tempat biasa.” Kataku sambil membayangkan nanti akan berhenti makan nasi goreng dengan view sawah dimalam hari yang cerah ditemani bintang-bintang.

            “Yaudah, gue duluan ya guys. Dah.” Aku pun langsung cap-cus. Melanjutkan perjalanan. Malam ini langsung menuju kaki gunung.

            “Iya, hati-hati Res.” Jawab mereka dengan bersahut-sahutan lagi.

            Ayo Motu, kita nikmati perjalanan malam ini. Kataku ke Motu, ya seolah Motu benar-benar bisa mendengar, haha.

 

***

 

            Malam ini benar-benar indah. Ternyata semakin malam bulan semakin menampakkan cahayanya. 4 jam pejalanan yang tidak membosankan. Ya, walaupun kadang harus beradu kecepatan dengan truk ketika hendak mendahului. Melawan dingin udara perbukitan yang semakin malam semakin dingin.

            Akhirnya sampai juga aku bersama Motu di pos registrasi gunung. Setelah sebelumnya menyiapkan kebutuhan logistik dipasar sebelum masuk kejalur menuju pos registrasi. Persediaan makanan selama perjalanan dan berkemah nantinya. Aku langsung menuju parkiran untuk menitipkan Motu dan helmku disana. Karena, tentu tidak mungkin kalau aku bawa naik ke atas, haha.

            Setelah mengisi formulir yang diisi dengan data diri dan jadwal naik beserta turunnya. Aku langsung berjalan menuju pos pertama. Aku akan berkemah disana. Sebenarnya aku lebih senang kemah berhari-hari disana daripada harus naik keatas. Karena aku rasa lebih tenang suasana di pos 1 dari pada diatas. Kalau di pos 2 dan 3 sudah tidak mungkin. Karena sebenarnya itu juga bukan pos yang dimaksud pos. Melainkan itu jalur yang memang cukup lapang untuk sekedar istirahat jika lelah dari perjalanan. Tapi tidak memungkinkan untuk dipakai berkemah. Jadi aku lebih memilih untuk berkemah di pos 1 saja. Lagi pula itu sudah cukup buatku. 2 malam dengan ketenangan yang ada disini. Apa lagi ini weekday, pasti tidak akan ramai pendaki yang naik.

            Setelah selesai mendirikan tenda dan merapikan perlengkapan tidurku didalamnya. Aku langsung mengumpulkan kayu-kayu kering untuk aku buat api unggun kecil didepan tendaku. Ah, romantis sekali suasananya. Duduk dalam keheningan ditengah hutan. Ditemani oleh hangatnya api unggun dan langit yang cerah. Beruntung banget malam ini bulat ikut hadir menemaniku. Benar-benar lucky aku hari ini. Semoga saja ini bukan hoki seumur hidup yang aku pakai. Bisa kacau aku setelah ini, haha.

            Malam ini aku gak masak yang berat-berat. Hanya mi instan dan roti bakar saja cukup. Ditemani coklat panas untuk duduk menghabiskan malam sembari menanti bulan kembali sembunyi. Baru setelah itu akau akan masuk tenda dan tidur untuk malam pertama.

***

 

            Kadang dalam suasana seperti ini aku senang sekali meliarkan lamunanku. Karena hal seperti hanya bisa aku dapatkan kalau aku pergi kemah sendiri. Sebab kalau ikut bersama rombongan, suasananya pasti di bawa seru dan meriah. Tentu akan sulit mendapat kan waktu tenang dan menyendiri begini. Sekalinya tenang, aku nya ngantuk. Akhirnya tidur deh. Itu lah alasanku untuk memberanikan pergi sendiri. agar aku bisa mendapatkan waktu seperti ini.

            Pernah juga waktu itu, mungkin beberapa bulan lalu. Aku pergi kemah sendiri. Bisa dibilang, mungkin aku kabur saat itu. Benar-benar kabur dari dilemaku karena orang tuaku terus-terus menanyakan kuliah-kuliah-kuliah. Ditambah lagi saat itu judul skripsi yang ditolak berulang kali selama 3 bulan aku ajuin dengan bermacam judul. Benar-benar frustasi rasanya. Hampir saat itu aku ingin teriak membentak ketika ibuku bertanya bagaimana kuliahku lewat telpon untuk kesekian kalinya. Aku sadar, itu bukan diriku.  Tapi isi kepalaku sudah bercampur aduk. Sudah benar-benar ruwet. “Aaaaaaaarghhhhhhh….” Akhirnya setelah ibu menutup telponnya baru aku lepaskan jeritan itu dengan ditutup bantal. Agar suaranya tidak melayang kemana-mana. Yang ada nanti aku dikira gila oleh penghuni kost yang lain.

            Akhirnya aku memilih untuk pergi mencari ketengan dan kesunyian untuk memulihkan kewarasaku yang hampir gila saat itu. Ditempat yang sama, saat itu aku juga memutuskan untuk pergi kesini. Menghilangkan diri beberapa hari. Juga tidak mengaktifkan handphone. Agar meditasiku tidak diusik oleh satu gangguan apapun.

            Ya, saat itu aku berharap mendapatkan anugerah. Tiba-tiba saat aku kembali, semuanya sudah selesai. Haha, tapi tidak terjadi ternyata. Tapi paling tidak aku pulang dengan hati yang tenang, lega. Paling tidak aku kembali siap untuk bertempur kembali menyelesaikan skripsiku pelan-pelan.

***

 

            Tapi, untungnya kali ini aku kembali kesini tidak membawa suasana hati yang frustasi. Kali ini aku kembali, karena ingin merasakan ketenangan yang benar-benar berasa nikmat. Aku cukup senang, akhirnya salah satu judul skripsiku bisa diterima. Mungkin itu hal biasa dan sederhana, tapi untukku itu sudah luarbiasa, dibanding bersemester-semester lalu. Gila aja, kalau sampai semester ini aku dapat mengejar jadwal sidang. Bisa D.O mungkin aku.

            Tapi sayang, malam ini tidak ada lagi sosok yang menemaniku berdialog seperti kemarin, terakhir aku kesini sebelum malam ini. Sosok yang menemani malam dan memecahkan kejenuhan dalam kepalaku. Yang ditemani syair-syairnya yang puitis, haha. Sosok yang baru saja patah hati saat itu.

            Sayangnya aku tak sempat bertukar nomor handphone dengannya karena keasikan menikmati malam bersama nya. Yang tiba-tiba datang entah darimana. Katanya waktu itu dia baru saja turun dari puncak dan sengaja menghampiriku karena dia melihatku sendiri. Katanya, dia sudah memperhatikanku dari pos registrasi. Sengaja tidak ikut rombongannya balik, karena dia dan romongan juga tidak langsung pulang malam itu. Mereka sudah sewa penginapan sebelumnya, karena besoknya mereka ingin keliling kota dulu, sebelum pulang ke Malang. Katanya waktu itu.

            Itu sebabnya dia memilih kembali, dan menghampiriku. Aku tak tahu pasti apa motifnya menghampiriku waktu itu. Tapi malam itu dia tidak menandakan akan berbuat jahat padaku. Awalnya aku juga mengantisipasinya. Tapi perlahan dia menunjukkan kalau memang tidak ingin melakukan hal aneh kepadaku.

            Saat itu, dia tiba-tiba datang dengan menyapaku. Meminta izin apakah aku keberatan atau tidak jika dia ikut menghangatkan badan di api unggunku. Aku mengizinkan, dan saat itulah aku dan dia mulai membuka obrolan. Hingga akhirnya aku melepaskan isi yang ada dikepalaku dengan cerita kepadanya. Tentang hal yang membuat aku kabur kesini saat itu. Dia pun mendengarkan dengan baik. Sesekali memberi saran kepadaku. Yah, cukup membuatku tenang. Akhirnya aku bisa menceritakan beban-bebanku. Dan saat itu aku merasa kepalaku lebih ringan setelah cerita ke dia. Ya aku yakin, kesiapapaun aku cerita pasti akan meringankan kepalaku. Tapi kebetulan dia yang ada, dan kepada dia aku ingin cerita. Padahal awalnya kami hanya cerita-cerita biasa, seputar keseharian dan hobi kami saja.

            Lalu diapun akhirnya cerita. Kalau tujuannya naik gunung saat itu ingin menenangkan diri setelah patah hati beberapa hari sebelumya. Cerita kami malam itu cukup panjang. Sampai menghabiskan 1 malam dengan berbagi cerita kepadanya. Bahkan aku tak mengantuk sedikitpun.

            Aku hanya ingat namanya, Bima. Aku sebut dia teman berdialog. Lalu dia pamit saat mentari mulai muncul dan langit mulai membiru. Kami sempat menikmati sunrise bareng. Aku buatkan coklat hangat untuk kami nikmati berdua. Sembari menunggu fajar perlahan muncul. Juga dengan beberapa potong roti bakar yang aku siapkan sebelum terlambat menyaksikan sunrise yang cerah saat itu.

***

            Dan rasanya tidak mungkin dia muncul kali ini secara kebetulan lagi. Kadang kalau aku kembali kesini seperti malam itu. Aku selalu teringat moment malam itu bersamanya. Yang jadi teman ceritaku untuk melepaskan kerumitan yang aku rasakan.

            Hah, aku harap beban ini bisa segera aku lepas. Sekarang aku sudah mulai dapat titik cerah setelah judulku diteriman. Setelah ini, aku kembali tempur dengan buku-buku dan kertas-kertas print yang dijilid. Melewati hal sulit berikutnya. Ajuin, diterima, sidang, wisuda, selesai. Aaahhh, semoga aku kuat Tuhan, rengekku dalam hati, haha.

            Jika ada dia disini. Sudah pasti aku akan dapat semangat darinya, haha. Tuhan, boleh aku minta dipertemukan dengan dia lagi. Haha, do’a yang aneh dariku malam itu. Ya, mungkin itu bagian dari agenda untuk menikmati malam yang indah kali ini.

***

 

            Sepulangnya aku dari beberapa hari berkemah dihutan kemarin. Baru aku menelpon ibuku, setelah aku sampai kost. Memberitahunya tentang kabar terbaru dari perkuliahanku yang sudah mendapatkan perkembangan. Syukurlah, kataku dalam hati. Akhirnya ibu sudah mulai lega mendengar kabar anaknya sudah mulai menyusun skripsi. Aku harap setelah ini ibu sudah tidak terlalu sering menelpon untuk menanyakan kuliahku. Aku juga ingin jika dapat telpon dari ibu, yang ditanyakan itu kabarku, keadaanku disini yang jauh darinya. Gak hanya bertanya soal kuliahku saja. Ya, semoga saja.

 

 

Posting Komentar untuk "Dialog Dalam Gelap"